”Hukum itu rawan diinterpretasi. Saya harap ke depan agar lebih tertib, baik tertib administrasi maupun terhadap aturan materiil. Jangan lagi ada dualisme,” ungkap Ketua Bidang Investigasi dan Pengawasan Hakim Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki, Sabtu (4/5), di Jakarta.
Ia mengatakan, KY menerima banyak sekali laporan pengaduan terkait Pasal 197 Ayat (1) KUHAP. Putusan, misalnya, tidak mencantumkan irah-irah ”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Huruf a), tanpa pertimbangan yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa (Huruf d), dan tanpa perintah penahanan/tetap ditahan/dilepaskan (Huruf k).
”Yang paling sering dimainkan memang Huruf k. Tidak dicantumkannya ketentuan itu memang menimbulkan ruang untuk berinterpretasi. Ada hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memanfaatkannya untuk bermain, untuk negosiasi,” ungkap Suparman.
Ia menambahkan, KY menduga, tiadanya perintah penahanan dalam putusan bukan sebuah keteledoran, melainkan dilakukan dengan niat tertentu. KY mengendus hal itu, tetapi kesulitan untuk membuktikannya.
”Ketika kami periksa hakimnya, mereka mengatakan, eksekusi itu urusan jaksa. Ketika kami tanya jaksanya, mereka melempar kesalahan ke hakim. Bagaimana mengeksekusi putusan seperti itu. Kami menduga sudah ada permainan antara terpidana, jaksa, dan hakim sehingga tidak tereksekusi,” katanya.
Bagi KY, tindakan seperti itu termasuk pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hakim dinilai tidak profesional dan tidak hati-hati dalam menjatuhkan putusan sehingga perlu diberi sanksi.
Namun, keharusan untuk
Terkait putusan MK, Suparman meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan edaran. Langkah itu penting mengingat tidak semua hakim membaca putusan MK. MA juga diminta untuk memperhatikan kesalahan administratif, seperti salah ketik, salah mengutip nomor perkara, tanggal putusan, nama terdakwa, atau identitas lain. Hal itu rentan dipersoalkan para pihak.
Menyusul adanya peristiwa Susno, MA memperingatkan hakim untuk lebih berhati-hati. Kesalahan seperti salah ketik dan salah identitas agar dihindari. ”Kesalahan kecil seperti itu menjadi besar bagi terpidana agar eksekusi tidak dilaksanakan. Ini harus diwaspadai,” ucap Ketua MA Hatta Ali.
Praktisi hukum Petrus Balapatyona mengatakan, kesalahan formal seperti dalam putusan Susno memang tidak mendukung kebenaran material. Ia berpendapat, putusan seperti itu tidak dapat dieksekusi. ”Ini kelalaian pengadilan atau hakim yang memeriksa perkara. Ini, kan, menyangkut nasib orang,” ujar Petrus, yang juga mempertanyakan bentuk tanggung jawab hakim atas putusan semacam itu.
Meski demikian, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, mengungkapkan, kesalahan formal tidak serta-merta membatalkan sebuah putusan. Jaksa pun tak perlu mengajukan upaya hukum peninjauan kembali sebagai akibat dari kesalahan tersebut. Kesalahan seperti itu bisa diperbaiki atau di-renvoi. Sepanjang tidak ada kesalahan materiil yang berkaitan dengan substansi perkara, putusan tidak dapat dikatakan batal demi hukum.