Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pelancong dari Senayan"

Kompas.com - 10/04/2013, 10:06 WIB

Oleh REZA SYAWAWI

Menjelang masa jabatan anggota DPR 2009-2014 berakhir, upaya peningkatan kinerja anggota DPR tak jua diperlihatkan kepada publik.

Mayoritas anggota DPR justru semakin memperlihatkan tabiat buruk. Bolos dalam aktivitas keparlemenan hingga aktivitas yang tak berkontribusi meningkatkan kinerja kian menegasikan bahwa DPR tak lagi dipandang sebagai tempat atau sarana memperjuangkan kepentingan publik. Menjadi anggota DPR hanyalah sebuah jabatan prestise dengan label terhormat , tetapi minim prinsip moralitas, etiket, bahkan jadi seorang kriminal: koruptor.

Degradasi kinerja ini patut jadi bahan evaluasi, terutama bagi partai politik sebagai satu-satunya wadah politik untuk bisa menjadi anggota DPR. Rendahnya kinerja DPR harus dipandang sebagai cermin bahwa partai politik gagal menempatkan orangorang terbaiknya mengurus kepentingan publik melalui DPR.

Memperkuat pengawasan

Di dalam tubuh DPR sendiri, instrumen pengawasan nyaris tak berkontribusi meningkatkan disiplin anggota DPR. Penundaan rapat-rapat penting di DPR akibat ketidakhadiran anggotanya sangat jelas menunjukkan penurunan kesadaran anggota DPR sebagai wakil rakyat.

Pengawasan yang dibangun justru meleluasakan anggota DPR mengingkari tugas. Padahal, pengingkaran ini akan jadi cermin politik menjelang Pemilu 2014, momentum yang seharusnya digunakan meningkatkan kinerja sebagai wujud akuntabilitas politik kepada publik, demos.

Politik hanya dipandang sebagai arena merebut kekuasaan. Pada akhirnya kekuasaan akan dijalankan dengan mempersempit ruang-ruang pengawasan publik. Padahal, instrumen pengawasan publik terhadap kekuasaan di level mana pun dijamin oleh hukum dasar sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Dalam implementasi, pembuat hukum termasuk DPR mencoba ”merekayasa ” instrumen pengawasan yang termaktub dalam undang-undang. Alhasil, pengawasan yang dirancang adalah pengawasan yang hanya melibatkan sesama anggota DPR yang dikumpulkan dalam satu alat kelengkapan bernama Badan
Kehormatan (BK). Diibaratkan, pengawasan ini sama saja seperti iblis mengawasi setan karena anggota BK juga anggota DPR yang berasal dari partai politik.

Lemahnya pengawasan ini membuat sebagian besar anggota DPR tidak terlalu mengacuhkan tugas pokoknya sebagai representasi publik. Di pihak lain, publik juga telah terkurung di luar sistem pengawasan. Publik hanya bisa melapor tanpa mampu mengontrol dan memastikan laporan itu ditindaklanjuti atau tidak.

Belajar dari sistem pengawasan di lembaga lain, KPK dan MK, misalnya, kehadiran representasi pihak luar dalam komposisi pembentukan Komite Etik KPK atau
Majelis Kehormatan Hakim mengisyaratkan bahwa mekanisme pengawasan semacam ini dimungkinkan untuk dibangun di lembaga DPR. Komposisi ini tentu saja harus mempertimbangkan aspek kenetralan dalam mengambil putusan.

Pelancong

Pemilu adalah instrumen pengawasan periodik. Kesalahan memilih wakil rakyat hanya akan bisa dikoreksi pada pemilu berikutnya. Publik tak memiliki posisi memakzulkan seorang anggota DPR dalam masa jabatannya jika dipandang tak lagi mewakili kepentingannya.

Posisi itu hanya dimiliki partai politik ketika anggota DPR melanggar aturan dalam undangundang. Padahal, sistem pemilihan langsung mengharuskan publik mengontrol langsung.

Pada sisi partai politik, publik tidak ditempatkan sebagai pemangku kepentingan yang berkepentingan langsung terhadap wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Tak ada mekanisme yang dibangun oleh partai untuk menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat terkait anggota DPR yang dipandang tak menjalankan tugasnya sebagai wakil publik.

Partai politik seakan menjelma menjadi lembaga privat, tidak terkontrol, tetapi mencitrakan diri sebagai wakil publik. Akses publik terhadap partai politik juga sangat dibatasi, misalnya terkait akses terhadap laporan keuangan partai politik dan akses dalam memengaruhi kebijakan partai. Padahal, partai politik adalah institusi publik yang seharusnya terbuka dalam menjalankan kebijakannya sebab kebijakan partai politik akan sangat menentukan kebijakan anggota DPR di lembaga legislatif.

Hampir seluruh putusan penting di DPR melalui mekanisme yang melibatkan partai politik lewat fraksi-fraksi di DPR. Bisa dibayangkan, apabila partai politik tidak bisa dikontrol oleh publik, secara langsung kontrol publik atas wakilnya di lembaga legislatif akan hilang.

Ke depan, sistem ini harus diperkuat dan dilembagakan melalui ketentuan yang mengikat. Era ketertutupan partai politik yang menghasilkan para ”pelancong dari Senayan” harus segera diakhiri sehingga keterwakilan politik tak lagi dipandang hanya sebagai ajang memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

REZA SYAWAWI Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

    MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Menkopolhukam Pimpin Satgas Judi Online | PDI-P Minta KPK 'Gentle'

    [POPULER NASIONAL] Menkopolhukam Pimpin Satgas Judi Online | PDI-P Minta KPK "Gentle"

    Nasional
    Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

    Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

    Nasional
    Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

    Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

    Nasional
    BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

    BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

    Nasional
    Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

    Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

    Nasional
    PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

    PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

    Nasional
    Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

    Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

    Nasional
    Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

    Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

    Nasional
    Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

    Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

    Nasional
    Selain Faktor Kemanusian, Fahira Idris Sebut Pancasila Jadi Dasar Dukungan Indonesia untuk Palestina

    Selain Faktor Kemanusian, Fahira Idris Sebut Pancasila Jadi Dasar Dukungan Indonesia untuk Palestina

    Nasional
    Kritik Pengalihan Tambahan Kuota Haji Reguler ke ONH Plus, Timwas Haji DPR: Apa Dasar Hukumnya?

    Kritik Pengalihan Tambahan Kuota Haji Reguler ke ONH Plus, Timwas Haji DPR: Apa Dasar Hukumnya?

    Nasional
    Pelaku Judi 'Online' Dinilai Bisa Aji Mumpung jika Dapat Bansos

    Pelaku Judi "Online" Dinilai Bisa Aji Mumpung jika Dapat Bansos

    Nasional
    Kemenag: Pemberangkatan Selesai, 553 Kloter Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arafah

    Kemenag: Pemberangkatan Selesai, 553 Kloter Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arafah

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com