Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertahankan "Indonesia Mini" di Yogyakarta

Kompas.com - 08/04/2013, 03:16 WIB

Sabtu (23/3), ketenangan Yogyakarta tersentak oleh penyerangan terhadap Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, oleh oknum bersenjata. Empat tahanan, berasal dari Nusa Tenggara Timur, tewas seketika.

Beberapa hari setelah penembakan itu, pekan lalu diakui dilakukan oleh prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, beredar pesan singkat mengenai adanya sweeping terhadap warga NTT di Yogyakarta. Isu mencemaskan itu menyebar di kalangan warga Yogyakarta, termasuk mahasiswa NTT. Karena takut, sebagian dari mereka mengungsi ke luar Yogyakarta, bahkan pulang ke kampung halamannya.

”Setelah kejadian itu, masyarakat seperti curiga kepada kami. Saat di warung membeli makanan atau minuman, mereka mengamati kami yang berkulit hitam dan keriting,” kata Urbanus Renda, mahasiswa dari Sumba, NTT, Sabtu (6/4).

Setelah penembakan itu, delapan teman Renda dari Sumba dan Flores langsung meninggalkan Yogyakarta. Mahasiswa yang indekos di kawasan Babarsari, Sleman, itu benar-benar trauma dan takut.

”Tahun 2005, saya merantau ke Yogyakarta setelah mendengar cerita dari kakak bahwa Yogyakarta nyaman untuk belajar. Makanannya juga murah dan enak. Setelah delapan tahun di sini, kami kaget dengan kejadian kemarin. Karena perbuatan segelintir orang, kami kemudian seolah-olah dicap sebagai preman,” ujar Renda.

Emiler Yigibalom, Ketua Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta, menambahkan, selama puluhan tahun, Yogyakarta di mata warga Papua menjadi tempat impian untuk menempuh pendidikan. Namun, penyerangan di LP Cebongan membuat mahasiswa pendatang kini diliputi kekhawatiran.

”Sejak insiden pembunuhan anggota Kopassus di Hugo’s Café, isu sweeping terhadap warga NTT mulai beredar. Kebetulan kami memiliki ciri-ciri fisik sama dengan teman-teman dari NTT,” ucap Sudarmono, mahasiswa asal Bima, Nusa Tenggara Barat.

Indonesia mini

Sejarah Yogyakarta sebagai ”Kota Pelajar” dan tempat bertemunya berbagai macam etnis dari segala penjuru Nusantara berlangsung selama delapan windu (64 tahun). Dalam rapat panitia perguruan tinggi di Pendopo Kepatihan, Yogyakarta, 20 Mei 1949, perintis pendidikan Indonesia sepakat mendirikan perguruan tinggi di Yogyakarta. Sebagai Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX meminjamkan gedung keraton dan ndalem (rumah kerabat keraton) sebagai tempat kuliah.

Sebelum gedung Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berdiri, pagelaran keraton sempat dimanfaatkan sebagai ruang kuliah fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Beberapa ndalem juga digunakan sebagai tempat kuliah, seperti fakultas kedokteran di ndalem Mangkubumen dan fakultas sastra di ndalem Yudhoningratan. Ndalem Notoprajan dijadikan sebagai asrama mahasiswa.

Sultan HB IX waktu itu peduli terhadap pentingnya pendidikan untuk mempersiapkan calon pemimpin bangsa. Siapa pun dipersilakan tinggal dan belajar di Yogyakarta.

Tahun demi tahun berlalu, Yogyakarta berkembang pesat sebagai magnet ilmu pengetahuan. Tahun 2013 tercatat sekitar 310.860 mahasiswa dari 33 provinsi di Indonesia belajar di Yogyakarta. Dari jumlah itu, 244.739 orang atau 78,7 persen adalah mahasiswa perantauan dari luar daerah.

Sampai kini, sekitar 500 asrama pelajar dan mahasiswa dari seluruh provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia hadir di Yogyakarta. Asrama itu tersebar di tiga daerah, yaitu Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Gubernur DI Yogyakarta Sultan HB X sempat mencemaskan banyaknya asrama yang berdasarkan kedaerahan itu.

Pengetatan izin

Dalam beberapa bulan terakhir, di Yogyakarta terjadi rentetan peristiwa kekerasan yang di antaranya melibatkan pendatang. Salah satu kasus kekerasan itu adalah pembunuhan terhadap anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah, Sersan Kepala Heru Santoso di Hugo’s Cafe, yang akhirnya memuncak dengan penembakan empat tahanan LP Cebongan, Sleman.

Setelah kasus itu, Sultan HB X menyerukan kepada bupati/wali kota di DI Yogyakarta untuk memperketat izin pembangunan asrama mahasiswa. ”Di Yogyakarta, 40 tahun lalu, timbul konflik antaretnis. Jika sekarang kasus serupa terjadi, Yogyakarta mengalami kemunduran,” katanya.

Beberapa hari setelah kasus penembakan di LP Cebongan, di Yogyakarta bergulir isu pemberantasan premanisme. Penembakan sadis yang menewaskan empat tahanan itu oleh sebagian kalangan diapresiasi sebagai bentuk ketegasan penindakan aksi premanisme.

Kecaman terhadap aksi premanisme terlihat dengan munculnya spanduk di beberapa ruas jalan Kota Yogyakarta dan Sleman, antara lain bertuliskan, ”Sejuta Preman Mati, Rakyat Yogya Tidak Rugi”. Kecaman terhadap premanisme juga marak lewat layanan pesan singkat (SMS) dan jejaring sosial.

Labelisasi berbahaya

Pengajar Ilmu Politik dari UGM, AAGN Ari Dwipayana, mengingatkan, eksistensi pendatang di Yogyakarta bukanlah hal baru dan melalui sejarah panjang dengan interaksi sosial yang lama. Karena itu, munculnya labelisasi kriminalitas yang diidentikkan dengan pendatang adalah wacana yang berbahaya serta mengancam keberagaman di Yogyakarta.

”Persoalan di LP Cebongan sebenarnya adalah negara yang lunak karena tidak berdaya dengan kelompok pelaku kriminalitas. Sangat berbahaya jika isu kekerasan justru dinormalisasi dengan alasan membasmi premanisme,” katanya.

Sosiolog dari UGM, Arie Sudjito, menambahkan, untuk menjaga kedamaian di Yogyakarta, labelisasi dan stigmatisasi pada etnis tertentu harus dihindari. Pemimpin dan tokoh masyarakat harus mampu meredam ketegangan sambil mempererat kohesi sosial dan solidaritas masyarakat. Yogyakarta, adalah Indonesia mini.(abk/rek)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com