Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Publik Pun Mempertanyakan Wibawa Hukum

Kompas.com - 01/04/2013, 02:30 WIB

ANTONIUS PURWANTO

Kepercayaan masyarakat terhadap hukum untuk memulihkan ”kesetimbangan sosial” dalam masyarakat kini semakin tipis. Selain banyak ”dibajak” kekuatan di luar penegakan hukum, kesenjangan dan pola hubungan antaraparat keamanan negara juga turut memperkeruh persoalan.

Kasus penyerbuan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, merupakan alarm pengingat terbaik bahwa karut-marut penegakan hukum dan keadilan di negeri ini telah sampai titik kritis. Serombongan pria bersenjata yang menyerbu lapas bukan sekadar bermakna menyerang tahanan, melainkan juga simbol ketidakpedulian terhadap eksistensi negara di mana sistem hukum sedang dijalankan. Gaung peristiwa itu melebar karena melibatkan berbagai identitas primordial, baik etnis maupun kelompok bersenjata yang diduga dari pasukan tertentu.

Peristiwa ini belum lama berselang dari pembakaran kantor Mapolres Ogan Komering Ulu oleh sejumlah anggota TNI Armed 15/76 Martapura yang baru terjadi awal Maret 2013. Dimensi kesenjangan hukum antara kekuatan TNI dan Polri itu bisa disejajarkan sebagai satu pola dengan kesenjangan hukum antara warga dan aparat kepolisian. Warga tidak percaya pada hukum sehingga mengeroyok pencuri yang tertangkap. Demikian pula dalam kasus di Sumatera Utara, warga tetap mengeroyok Kapolsek Dolok Pardamean Ajun Komisaris Andar Siahaan hingga tewas meski dia sudah menjelaskan dirinya seorang kapolsek.

Sulit diingkari, berbagai kasus hukum dan bentrokan terkait oknum TNI dan Polri kerap kali tak diatasi dengan tuntas. Kasus-kasus pidana yang melibatkan oknum petinggi Polri dan TNI juga tak tuntas sejak era Reformasi berjalan 14 tahun lalu. Kalaupun diusut, sebagaimana pengusutan ”Tim Mawar” (kasus penculikan aktivis mahasiswa 1998), vonis yang dijatuhkan relatif ringan. Sebaliknya, publik melihat dengan telanjang bagaimana wajah hukum jadi keras dan tegas terhadap pencuri kelas teri dan rakyat biasa.

Di mata publik, ada berbagai persoalan berkaitan dengan kian menipisnya kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum. Di tingkatan aparat penegak hukum, mayoritas responden berpandangan, profesionalitas dan integritas moral aparat penegak hukum masih kurang. Sementara dalam tataran sistem, publik melihat banyaknya intervensi dari kekuatan di luar penegakan hukum.

Dalam pengungkapan kasus penyerangan Lapas Cebongan, misalnya, tiga dari empat responden menganggap langkah yang diambil pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut belum efektif dan memadai. Sulit diingkari bahwa ada nuansa pengingkaran dari aparat negara terhadap esensi penyerangan itu, yang dilihat mayoritas publik sebagai aksi balas dendam. Tak mengherankan, lebih dari separuh responden meragukan kasus semacam itu akan benar-benar diselesaikan secara jujur dan tuntas.

Meski aksi penyerangan itu membangkitkan lagi perdebatan tentang aksi ”petrus” (penembakan misterius) dalam rangka pemberantasan preman, jaringan narkoba dan segregasi etnis pendatang di Yogyakarta, publik tetap melihat benang merahnya. Hampir semua responden (90,8 persen) tidak setuju dengan tindakan penyerangan Lapas Cebongan dan menilai pengusutan kasus ini akan menjadi salah satu barometer penting penegakan hukum negeri ini.

Ketidakpastian hukum

Rendahnya tingkat kepastian hukum dalam masyarakat tecermin dari kepercayaan yang rendah terhadap penegakan hukum yang dilakukan. Hanya sekitar sepertiga bagian responden (35,0 persen) yang masih percaya terhadap hukum saat ini. Sepertiga bagian lain (38,2 persen) setengah percaya dan 25,9 persen responden tidak lagi percaya.

Bagaimanapun, publik melihat pengingkaran terhadap penegakan hukum dalam kasus-kasus terjadi di semua lapisan, mulai dari masyarakat umum hingga pejabat, baik dari ranah sipil maupun militer.

Sejumlah responden memilih ”berdamai” saat terkena tilang polisi, sementara politisi DPR berkelit saat ditangkap dan diusut Komisi Pemberantasan Korupsi. Tak mengherankan jika dalam jajak pendapat ini pun sepertiga bagian responden menyatakan memilih jalur ”belakang” (lobi, damai) sebagai langkah pertama kali yang dilakukan jika terjerat kasus dan berurusan dengan aparat.

Tentu saja kalangan penegak hukum dan aparat negara bukan semata pihak bersalah. Warga masyarakat pun membutuhkan perubahan perilaku dan sikap tertib dalam masyarakat (social order) sehingga ketidakpastian tak menjadi narasi ayam dan telur. Meski demikian, mayoritas responden (74,6 persen) tetap menuntut perbaikan pertama-tama dilakukan oleh perilaku aparat penegak hukum itu sendiri.

KUHP dan santet

Ketidakpastian hukum juga harus ditegakkan dalam ranah prosedur dan sistem hukum. Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang saat ini sedang digodok parlemen, sejumlah pasal menimbulkan kontroversi, terutama tentang perilaku santet.

Hampir semua responden (92,4 persen) menyatakan, perilaku santet sulit dan bahkan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Santet bukanlah masalah yang nyata dan sangat sulit ditelusuri secara logika wajar.

Di mata publik, pengaturan mengenai santet justru menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Karena itu, lebih dari separuh responden (60,3 persen) menyatakan menolak pengaturan santet dimasukkan dalam RUU KUHP yang baru dan hanya sepertiga bagian (30,7 persen) yang menerima.

Masih akan ditunggu publik, bagaimana akhir dari pengusutan berbagai kulminasi persoalan-persoalan penegakan hukum dan penyusunan sistem hukum itu. Namun, yang makin jelas, publik semakin memaknai narasi hukum di negeri ini, yang begitu parau suaranya.(LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com