Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunung Es Kekerasan Seksual

Kompas.com - 10/03/2013, 03:37 WIB

OLEH KRISTI POERWANDARI

Setelah kekerasan seksual oleh ayah sendiri yang dialami Ri (11) yang akhirnya meninggal, lagi-lagi muncul (dugaan) kasus pencabulan oleh guru.

Bila kita dirampok dan terluka oleh tindakan perampok, kita tidak merasa perlu untuk menyembunyikannya. Bahkan sering ingin segera bercerita kepada semua orang yang kita temui. Bayangkan kita seorang remaja (bisa perempuan, bisa pula laki-laki) dan mengalami kekerasan seksual dari orang yang sangat dihormati, seperti orangtua sendiri atau guru. Mungkin kita merasa sangat bingung, takut bila bercerita tidak dipercaya atau dinilai buruk, juga khawatir akan pembalasan dari orang yang memanfaatkan tubuh kita tersebut. Akhirnya kita memilih diam.

Hal tersebut makin memudahkan pelaku pelecehan berbuat semaunya karena sebagai guru atau orangtua, ia berkuasa atas kita. Hal tersebut makin merentankan posisi kita, demikian seterusnya. Ketika tekanan yang ditanggung sudah terlalu berat dan kita akhirnya mengungkapkan kejadian, laporan akan ditanggapi sinis. ”Sudah dilecehkan berulang kali kok baru lapor, itu sih berarti suka sama suka....” Atau, ”Sepertinya muridnya yang genit dan tukang pacaran....”

Adakah laporan palsu mengenai kekerasan seksual? Tentu ada, seperti juga ada laporan palsu mengenai kasus perampokan, pencurian, dan sebagainya. Namun, kekerasan seksual justru seperti gunung es. Yang dilaporkan umumnya jauh lebih sedikit daripada fakta yang sesungguhnya terjadi. Karena itu, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa semua laporan perlu ditindaklanjuti dengan serius sebagai kasus yang sangat mungkin memang terjadi.

Pelaku kekerasan seksual pada anak (dan remaja) mayoritas adalah orang dewasa yang dikenal dekat oleh anak, yakni orang yang harusnya berperan menjadi pelindung anak itu. Perkiraannya 10 persen pelaku tidak dikenal oleh anak. Pelaku bisa jadi orangtua, guru, kakak, paman, wali, penjaga, dan tetangga. Dapat dimengerti anak enggan bercerita karena takut ceritanya tidak dipercaya dan ia malah makin disudutkan oleh lingkungan.

Tanggung jawab orang dewasa

Penanganan kasus secara klinis pada korban menunjukkan sedikit sekali pelaku yang (segera) mengakui tindakannya. Yang lebih umum adalah bahwa pelaku menyangkal dengan berbagai dalih canggih. Namun, jejak-jejak luka psikis pada anak kuat mengindikasikan bahwa kekerasan seksual memang terjadi dan dilakukan oleh orang yang dilaporkan itu. Ada pula yang mengakui melakukan hal-hal seksual yang dilaporkan oleh sang anak, tetapi menyalahkan si anak. Misalnya dengan mengatakan anak itu yang datang ke rumahnya, si anak genit, sudah tidak perawan, anak menggoda atau lebih aktif mengajak hubungan seks.

Penting untuk diingat bahwa anak belum mencapai tahapan perkembangan (kognitif, intelektual, sosial, emosional, dan moral) seperti orang dewasa sehingga tidak bisa dikenai tanggung jawab atas aktivitas seksual yang terjadi antara dia dan orang dewasa. Hubungan seksual antara orang dewasa dan anak harus selalu dilihat sebagai tindakan yang menjadi tanggung jawab dari orang dewasa tersebut. Bukan tanggung jawab anak, terlepas dari apakah ia anak bandel atau baik, bodoh atau pintar, dari keluarga pecah atau punya orangtua lengkap, sering menggunakan rok mini atau baju bertutup, sudah pernah terlibat aktivitas seksual sebelumnya ataupun belum. Apalagi bila orang dewasa tersebut adalah guru, orangtua atau tokoh otoritas dari anak: ia bertanggung jawab untuk menjaga anak tersebut dan mengajarkan nilai-nilai baik, bukan malah memanfaatkan anak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya sendiri.

Sensitivitas pada korban

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com