Badan tiba-tiba terasa berat, lalu makin berat, dan makin berat. Pemandangan kota Jakarta pun sudah berganti menjadi langit biru yang makin biru. Dalam sekejap, hanya langit yang terlihat di luar kanopi kokpit, saat pesawat bergerak tegak lurus ke angkasa.
Kencangkan otot perut dan kaki. Tahan sebentar!” seru Frederic ”Fredo” Schwebel, pilot yang berada di depan Kompas, saat pesawat menyelesaikan manuver boucle (loop) alias lingkaran 360 derajat tegak lurus di udara. Manuver itu menimbulkan efek gravitasi 4G. Bobot tubuh pun serasa naik empat kali lipat!
Bagi orang awam, manuver tersebut sudah cukup membekukan pikiran. Kerja otak habis untuk berkonsentrasi menahan beban efek G-force—dan menahan sensasi takut—saat pesawat terbang terbalik lalu meluncur pesat menuju permukaan tanah. Adrenalin mengalir deras.
Jangankan berpikir untuk mengendalikan pesawat agar tetap berada dalam formasi rapat dengan pesawat lain, menikmati pemandangan di luar pun seolah tak sanggup. Hilang sudah orientasi akan arah mata angin atau posisi dan arah gerak pesawat.
Saat pesawat kembali dalam posisi terbang normal, pikiran jernih berangsur-angsur pulih. Diam-diam muncul kekaguman luar biasa terhadap para pilot pesawat tempur dan aerobatik.
Itulah pengalaman yang didapatkan saat Kompas memperoleh kesempatan istimewa ikut dalam penerbangan akrobatik tim aerobatik Breitling Jet Team (BJT), Sabtu (2/3). Empat tamu undangan dan dua wakil dari media mendapat kesempatan duduk di kursi belakang pesawat L-39C Albatros, jet latih tempur berkursi tandem yang mereka gunakan.
Tim aerobatik profesional sipil yang bermarkas di Dijon, Perancis, itu mampir di Indonesia dalam rangka Tur Asia 2013. Sebelum tiba di Jakarta, mereka mampir di Sekolah Penerbang TNI Angkatan Udara di Yogyakarta dan melakukan terbang lintas di atas Candi Borobudur untuk pemotretan udara.
Bahaya dan tekanan
Selama ini, sebagian besar dari kita hanya bisa menonton dan mengagumi aksi tim aerobatik semacam itu dari kejauhan. Yang kita tahu hanya perasaan terhibur menyaksikan para pilot meliuk-liukkan pesawat dengan berbagai manuver dan formasi di udara.
Tak pernah terbayangkan besarnya bahaya dan tekanan fisik maupun mental yang mereka hadapi saat melakukan itu. Tak pernah tebersit dalam pikiran jalan panjang latihan dan disiplin tinggi yang harus mereka tempa terus-menerus untuk tiba pada tingkat penguasaan seperti itu.
Tak sampai lima menit setelah tujuh pesawat lepas landas bergantian dari landasan pacu Bandara Halim, mereka sudah membentuk formasi rapat di ketinggian. Dan yang dimaksud rapat di sini adalah benar-benar rapat.
Cerobong mesin jet pesawat di depan benar-benar berada di depan mata. Sedemikian dekatnya sehingga paku-paku keling pesawat di sebelah terlihat jelas.
Ketua Tim BJT Jacques ”Speedy” Bothelin mengatakan, jarak antarpesawat pada formasi rapat seperti itu hanya sekitar 3 meter. Pada kecepatan 750 kilometer per jam, jarak setipis itu jelas penuh risiko.
Namun, para pilot profesional ini tetap bisa menjaga formasi secara rapi meski tiap pesawat terus diombang-ambing angin dan turbulensi udara. Formasi itu bahkan terus terjaga saat mereka melakukan manuver-manuver rumit seperti boucle atau saat melakukan manuver ombak.
Lebih dari teknis
Bothelin mengatakan, dibutuhkan lebih dari keterampilan teknis setiap individu untuk terbang dalam sebuah tim aerobatik. Anggota tim harus saling mengenal dengan baik satu sama lain dan memiliki karakter yang bisa terintegrasi dengan sempurna.
”Di udara kami berbagi bahaya bersama-sama. Saat kami terbang hanya terpisah jarak 3 meter, saya harus bisa percaya sepenuhnya rekan-rekan setim saya,” papar Bothelin, yang sudah terbang aerobatik sejak 1980.
Kelancaran berkomunikasi dan kemampuan memahami satu sama lain menjadi kualifikasi penting pilot yang akan direkrut. Itu sebabnya, semua pilot BJT, kecuali Bothelin, adalah mantan pilot pesawat tempur Angkatan Udara Perancis.
Satu hal lagi yang menyatukan mereka adalah gairah akan dunia penerbangan. Bothelin mengaku sudah sejak kanak-kanak ingin menjadi pilot.
Gairah itulah yang membuatnya membentuk tim aerobatik sendiri pada era 1980-an. Setelah berganti-ganti sponsor dan tipe pesawat yang digunakan, tim aerobatiknya kemudian mendapatkan dukungan dari Breitling, produsen arloji asal Swiss yang selama ini dikenal memiliki kedekatan dengan dunia penerbangan.
Bagi Schwebel, bergabung dengan BJT memberi dia kesempatan membagi gairahnya akan penerbangan kepada semua orang. Sesuatu yang tak bisa ia lakukan saat masih menjadi pilot Angkatan Udara.
Namun, di atas semua itu, hanya latihan keras dan disiplin ketat yang bisa membuat mereka melakukan aksi-aksi mereka. Sebagian orang mungkin akan berpikir, para pilot aerobatik adalah orang-orang nekat, para pemburu adrenalin yang sekadar mencari tantangan dan sensasi untuk mencari perhatian orang lain.
”Padahal, kami justru kebalikan dari itu semua. Semua aksi ini telah direncanakan dan dilatih berulang-ulang. Kami ini bagaikan orkestra yang memainkan komposisi musik yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kami selalu ingin semuanya berjalan sesuai rencana, dan kami semua mencintai kehidupan. Kami bukan orang-orang putus asa,” ujar Bothelin sambil tertawa.
”Kami hanya ingin terus mengembangkan dan menunjukkan keterampilan kami dengan cara yang sangat profesional, bukan asal sok pamer,” imbuh pria ramah ini.
Gairah, disiplin, kemauan keras untuk terus-menerus menempa diri dan menimba ilmu baru, serta kerendahan hati mengakui batas-batas diri, adalah kunci semuanya.(Dahono Fitrianto)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.