Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lika-liku Daging Impor

Kompas.com - 15/02/2013, 07:07 WIB

 

KOMPAS.com - Mana yang mau dipilih: harga daging sapi murah atau memberikan keuntungan lebih baik kepada peternak sapi? Apabila ingin memberikan keuntungan lebih kepada peternak, biarkan harga daging sapi mahal karena peternak akan bersemangat.

Begitu sebaliknya, apabila harga daging sapi murah, konsumen akan diuntungkan, baik konsumen rumah tangga maupun industri skala kecil dan besar. Hal itu karena dengan harga yang murah, mereka akan mampu membeli lebih banyak daging untuk dikonsumsi. Dengan demikian, secara nasional konsumsi per kapita daging sapi orang Indonesia akan naik dari yang saat ini hanya 2,1 kilogram (kg) per orang per tahun.

Bandingkan dengan Vietnam 4 kg, Singapura 6 kg, atau Malaysia 8 kg. Konsumsi per kapita daging yang makin tinggi antara lain akan ikut mendorong kecerdasan masyarakat.

Bagi industri pangan olahan berbasis daging sapi, harga bahan baku daging yang murah akan mendorong daya saing produk mereka dari serbuan produk impor sejenis. Hidup industri bisa terjamin, begitu pula penyerapan tenaga kerja.

Atas pertimbangan konsumsi per kapita dan daya saing itulah, kalangan dunia usaha pada 2009 meminta komoditas daging tidak dikenai pajak pertambahan nilai. Klausul ini minta dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Permintaan para pengusaha itu sempat ditampik pemerintah. Dipahami, karena pembebasan PPN akan mengurangi pendapatan negara. Apalagi kebutuhan daging sapi nasional lebih dari 400.000 ton per tahun. Belum lagi daging ayam.

Setelah melalui perdebatan, akhirnya pemerintah setuju. Harga daging bisa lebih murah karena tidak ada tambahan PPN. Konsumsi per kapita juga meningkat.

Apalagi didukung kebijakan melonggarkan impor. Daging impor murah tidak hanya di pasar modern, tapi juga masuk pasar tradisional. Daging lokal yang harganya relatif mahal kalah bersaing. Soalnya pemerintah mengizinkan daging impor masuk ke pasar tradisional, bukan hanya ke pasar khusus.

Kebijakan ini mendatangkan protes dari kalangan peternak dan perusahaan penggemukan sapi. Tahun 2010/2011, harga daging sapi hidup sempat di bawah Rp 20.000 per kg, padahal saat itu biaya produksi per kilogram sudah di atas Rp 20.000.

Peternak mulai enggan memelihara sapi. Mereka yang telanjur memelihara menahan sapinya untuk tidak dijual. Kondisi ini berdampak pada penurunan pasokan daging sapi lokal ke pasar, yang lalu direspons dengan peningkatan volume impor.

Di tengah kegaduhan itu, para importir bekerja sama dengan oknum pejabat melakukan berbagai praktik penyimpangan. Aksi ”ambil untung” ini dilakukan dengan berbagai tawaran, mulai dari fasilitas sampai komisi. Modusnya macam-macam. Mulai dengan memalsukan sertifikat kesehatan hewan atau sertifikat halal, memalsukan surat persetujuan pemasukan atau izin impor, hingga memalsukan dokumen impor dengan menambah volume impor lebih banyak dari izin yang diberikan.

Ada upaya mencoba menertibkan teknis perizinan. Namun mendapat resistensi dari kalangan internal. Pejabat yang bersangkutan dipecat. Penyimpangan impor daging sapi tidak pernah ditangani tuntas. Berbagai praktik korupsi, tercium media.

Karena terus bergejolak, mekanisme perizinan kemudian diubah. Kuota impor nasional ditetapkan dalam rapat koordinasi terbatas di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Izin impor dikeluarkan Kementerian Perdagangan mengacu pada rekomendasi Kementan.

Celah masih tetap ada. Giliran kuota impor yang kini diduga dipermainkan. Para importir yang dulunya nakal justru mendapat berbagai fasilitas lebih. Hal itu termasuk pemberian kuota impor yang lebih banyak. (HERMAS E PRABOWO)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com