Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Tipikor Dinilai Tak Sensitif

Kompas.com - 05/02/2013, 02:20 WIB

Jakarta, Kompas - Vonis 2 tahun 8 bulan penjara terhadap Hartati Murdaya, terdakwa kasus suap terhadap Bupati Buol saat itu, Amran Batalipu, menunjukkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah kehilangan sensitivitas dalam menangani kasus korupsi.

Vonis Hartati menambah panjang deretan kasus korupsi yang divonis rendah atau jauh dari tuntutan jaksa, yang kini telah menjadi tren, bahkan di pengadilan tipikor.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Senin (4/2), kepada pers di Jakarta.

Kemarin, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Gusrizal Lubis menyatakan, Hartati terbukti menyuap Bupati Buol sebesar Rp 3 miliar dalam pengurusan hak guna usaha dan izin usaha perkebunan lahan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

Hartati didakwa secara alternatif, tetapi hakim menyatakan dakwaan pertama yang terbukti. Hartati melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto UU No 20/2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.

Selain memvonis Hartati dengan hukuman 2 tahun 8 bulan penjara dikurangi masa tahanan, majelis hakim juga memvonis Hartati untuk membayar denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara.

Vonis itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum, yaitu hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan penjara.

Hal yang meringankan Hartati, menurut majelis hakim, pengusaha yang juga mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini berjasa membangun perekonomian Buol. Hartati dengan PT Hardaya Inti Plantations (HIP) adalah investor pertama yang mau bekerja di Buol. Hartati juga sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

Hal yang memberatkan, perbuatan Hartati mencederai tatanan birokrasi pemerintahan yang bersih. Perbuatan Hartati juga kontraproduktif sebagai pengusaha.

Pleidoi ditolak

Majelis hakim menolak pleidoi atau pembelaan Hartati yang menyatakan bahwa saat menerima uang Hartati, Amran Batalipu berstatus bukan sebagai penyelenggara negara, melainkan calon kepala daerah. Hakim anggota Slamet Subagyo memaparkan, pemberian kepada penyelenggara negara untuk memengaruhi menjalankan tindak pidana tidak harus diberikan pada saat Amran bertugas, tetapi bisa saat dia sedang beristirahat di rumah dan tempat lain.

Majelis hakim juga menolak pleidoi Hartati bahwa suap yang diberikan untuk bantuan pemilihan kepala daerah tersebut tanpa diketahui atau tanpa izin darinya. Menurut majelis hakim, orang-orang yang menyerahkan uang tersebut mewakili kepentingan Hartati.

Terhadap vonis tersebut, Hartati mengatakan pikir-pikir dulu Sidang pembacaan vonis kemarin disesaki para pendukung Hartati, mulai dari karyawan, kerabat, hingga simpatisan. Pada saat tuntutan oleh jaksa, pengerahan massa ke ruang sidang ini dijadikan unsur yang memberatkan bagi Hartati, tetapi dalam amar putusan kemarin tidak disinggung majelis hakim.

Sesuai perkiraan

Mahfud mengatakan tidak terlalu terkejut dengan vonis Hartati yang lebih rendah daripada tuntutan tersebut. Hal itu sesuai dengan perkiraannya bahwa sensitivitas hakim terhadap keadilan telah luntur.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, tren vonis rendah kasus korupsi telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Kini tiba waktunya ketidakadilan itu ditindak. Apabila tidak dilakukan, rakyat bisa marah dan semakin tidak percaya kepada lembaga penegak hukum.

”Negara harus mulai tegas kepada koruptor. Kalau tidak, negara bisa hancur,” ujar Mahfud.

Secara terpisah, Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, sekitar 3.000 warga Buol kembali mengadakan aksi damai. Mereka, antara lain, mendesak pemerintah daerah memastikan hak petani plasma dan melindungi hak buruh yang bekerja di PT HIP. (ana/amr/edn)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com