Jakarta, Kompas -
Demikian salah satu kesimpulan hasil penelitian ”Relasi Negara dan Agama dalam Sistem Demokrasi: Problematika Peran Negara dalam Menangani Intoleransi Keagamaan” oleh Imparsial, seperti disampaikan Koordinator Penelitian Imparsial Ghufron Mabruri, Kamis (20/12) di Jakarta.
Diskusi juga dihadiri pembicara lain, yaitu Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Otto Syamsuddin Ishak, dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Siti Musdah Mulia, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, dan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna.
Penelitian Imparsial dilakukan di empat wilayah di Jawa Barat, yaitu Kuningan, Tasikmalaya, Bogor, dan Bekasi. Kajian fokus pada kasus kekerasan dan penyerangan terhadap Ahmadiyah di Kuningan, Tasikmalaya, dan Bogor; sengketa pendirian gereja Huria Kristen Batak Protestan di Pondok Timur Indah di Bekasi; dan pendirian Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin di Bogor.
Penelitian menunjukkan, pemerintah pusat dan daerah gagal menjalankan kewajiban untuk menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. ”Aparat keamanan cenderung membiarkan berbagai aksi intoleran, dan gamang untuk menyelesaikan masalah di lapangan,” kata Ghufron Mabruri.
Siti Musdah Mulia menjelaskan, intoleransi keagamaan kian menguat di Indonesia dengan ditandai munculnya kasus-kasus kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian pelaku kekerasan itu justru polisi, politisi, bahkan Menteri Agama.
Otto Syamsuddin mengatakan, polisi paling banyak diadukan dalam pelanggaran HAM. Menurut Nanan Soekarna, polisi bekerja menangani potensi, ambang gangguan, dan gangguan nyata. Polisi sebenarnya memiliki peta potensi kekerasan di masyarakat dan berusaha mencegahnya. Namun, jumlah personel polisi kadang jauh lebih sedikit dari massa.
Lukman Hakim mengingatkan, bangsa Indonesia majemuk dalam etnik, agama, budaya, dan bahasa.