Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuno Manuk, Harmonisasi Langit dan Alam Semesta

Kompas.com - 14/12/2012, 02:17 WIB

Hubungan harmonis antar-kekuatan tertinggi, yang disimbolkan dengan matahari dan bulan serta bumi dan segala isinya, senantiasa ternoda oleh ulah manusia. Pemulihan hubungan dilakukan melalui upacara tuno manuk atau bakar ayam. Ritual tahunan ini memiliki nilai keharmonisan yang mendatangkan kesejahteraan dan perlindungan.

Ayam jantan (manuk baran), bahasa suku Lamaholot, yang menetap di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), mewakili setiap kaum pria yang hadir atau diwakilkan. Ayam diyakini sebagai utusan dewa langit, yang membawa pesan keselamatan bagi manusia dan alam semesta. Ayam dipersembahkan kepada dewa langit atau Rera Wulan dalam bahasa Lamaholot, yang artinya matahari-bulan, dan Tanah Ekan atau manusia dan alam semesta, atau disebut Rera Wulan-Tanah Ekan.

Simbol keselamatan

Tradisi tuna manuk digelar di Desa Demondei, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, NTT, yang berada di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut. Jumlah penduduk di desa ini sekitar 1.250 jiwa dan tidak kurang dari 420 orang berada di perantauan.

Bagian ayam yang diyakini menjadi simbol keselamatan dan kesejahteraan hidup adalah tonjolan kecil sepanjang 1-2 sentimeter (cm) pada bagian usus, yang disebut tuber, dalam bahasa Lamaholot berarti jiwa. Makin panjang tuber itu, diyakini umur, kesehatan, dan kesejahteraan hidup orang itu terjamin sepanjang tahun.

Jika tuber tidak kelihatan hanya beberapa milimeter, orang yang disimbolkannya harus memeriksa batin, mengakui kesalahan kepada ketua adat, dan menyerahkan ayam baru kepada ketua adat untuk didoakan.

Tradisi tuno manuk biasanya diselenggarakan setiap pertengahan tahun, sekitar bulan Juli. Upacara itu diselenggarakan setelah ketua adat mendapatkan petunjuk leluhur. Hari dan tanggal pelaksanaan diumumkan kepada seluruh warga di mana saja berada.

Setiap kaum pria wajib membawa seekor ayam jantan sehat. Wakil dari perantau pun mempersembahkan seekor ayam jantan. Sebelum dibawa ke rumah adat, ayam didoakan terlebih dahulu di depan pintu rumah sekitar pukul 18.00 oleh seluruh anggota keluarga.

Masing-masing kaum pria memegang ayamnya di depan pintu, sementara sang ayah atau anak laki-laki sulung memanggil Rera Wulan-Tanah Ekan. Ayam untuk perantau dipegang pria lain, yang menjadi wakilnya. Setelah menyebut nama Rera Wulan-Tanah Ekan, nama leluhur pun disebut, termasuk nama anggota keluarga yang telah meninggal.

Mereka dipanggil untuk mendengarkan keluh-kesah, suka-duka, permohonan perlindungan, dan bimbingan bagi anggota keluarga yang masih hidup, baik di desa itu maupun di tempat perantauan. Macam-macam permohonan disampaikan, sesuai wujud, niat, rencana, dan cita-cita.

Seusai berdoa, ayam diludahi masing-masing anggota keluarga sebagai simbol penebusan dosa. Ayam dibawa ke rumah adat rera gere yang artinya matahari terbit dan rera lodo yang berarti matahari terbenam. Perempuan membawa beras serta minuman arak atau tuak putih.

Lima suku

Ada lima suku di desa itu. Suku Khaya, Narek, dan Lagadoni warganya masuk ke rumah adat rera lodo. Adapun warga suku Ariana dan Bubun masuk ke rumah adat rera gere. Ketua adat rera gere dan rera lodo mendoakan ayam-ayam itu untuk dipersembahkan kepada leluhur.

Ayam-ayam itu lalu dibawa pemilik atau yang mewakili ke rumah adat yang disebut koke bale. Di sana sudah menunggu ketua adat, didampingi perwakilan dari lima suku.

Rera Wulan-Tanah Ekan mulai dipanggil hadir bersama leluhur. Sesajinya berupa daging seekor anak ayam, yang dibakar di depan koke bale. Jika ada semut atau binatang lain menggerogoti daging persembahan, hal itu adalah pertanda kekuatan tertinggi telah menyetujui pembukaan ritual.

Ayam-ayam pun disodorkan di hadapan ketua adat, satu per satu. Sambil berdoa, ayam-ayam itu disembelih. Darah ayam disiramkan di atas sebuah batu bulat ceper seberat 0,5 kilogram yang disebut nuba nara. Nuba artinya dewa langit yang mencipta, sedangkan nara berarti umat manusia dan seluruh ciptaan.

Ayam yang sudah disembelih diserahkan kepada pemilik untuk dibersihkan bulunya, lalu dibuka bagian tubuhnya, terutama bagian ususnya, yang disebut tuber (jiwa). Selain itu, jantung dan hati ayam pun diperiksa.

Tahun ini sebanyak 512 ekor ayam dipersembahkan. Sebagian laki-laki tidak terlibat. Mereka berjanji khusus akan mengikuti upacara tahun depan, dengan istilah hodan tuak.

Sepanjang ritual itu, masyarakat memperagakan tarian tradisional yang disebut Lian Namang. Kaum tua, muda, dan remaja saling berpegangan tangan membentuk lingkaran, berjalan mengikuti lingkaran, mengayun tangan bersama sambil bernyanyi. Mereka berbalas pantun; berisikan cinta dan suka-duka hidup dengan kata-kata berupa kiasan.

Tamu tidak berhak

Sebenarnya ada empat desa yang warganya terlibat dalam tuno manuk, yakni Demondei, Mewet, Watodei, dan Beludua. Tamu dari luar desa itu tidak diperkenankan mengonsumsi ayam dan nasi adat. Mereka hanya bergabung dalam Lian Namang. Warga berhak menjamu mereka sebagai tamu.

Menjelang pagi, Lian Namang dihentikan. Pertunjukan dilanjutkan dengan pencak silat tradisional disebut mesa dan tarian Uwa atau pukul betis kaki secara bergantian oleh dua pria dewasa. Pertunjukan ini berlangsung sekitar 30 menit.

Saat matahari terbit, ratusan ayam itu dicincang. Bagian hati dikumpulkan dan dipersembahkan kepada Rera Wulan-Tanah Ekan oleh ketua adat pada puncak acara. Ayam dan beras lalu dimasak dalam bambu dengan air kelapa muda, warna merah.

Puncak upacara ditandai dengan makan perjamuan bersama pada sore hari. Semua laki-laki duduk membentuk lingkaran di dekat koke bale. Ayam yang matang dibagikan kepada semua laki-laki yang duduk melingkar. Setiap hadirin yang memiliki ayam wajib mendapatkan sayap, kepala, kaki, paha, dan ekor. Daging dan nasi disimpan dalam daun waru sebagai pengganti piring.

Tetua adat lima suku naik ke koke bale, memberi makan dewa langit dan leluhur. Hati ayam dipersembahkan. Seusai ritual ini, ketua adat turun dan mengajak semua hadirin makan bersama, setelah membawakan doa dalam bahasa adat.

Hanya laki-laki yang mengambil bagian dalam perjamuan itu. Seusai perjamuan adat, tetua adat bergerak menuju sumber air dan pohon besar. Arwah leluhur diyakini tinggal di hutan, pohon, batu, dan sumber air. Mereka menjaga dan melindungi kelestarian alam sekitar.(KORNELIS KEWA AMA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com