JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk melayangkan gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) terkait adanya ancaman sanksi pidana bagi hakim. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), Lilik Mulyadi, menegaskan pasal-pasal yang dipersoalkan IKAHI dalam UU SPPA yakni Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101.
"Sejumlah pasal tersebut seharusnya tidak memuat asas-asas kriminalisasi. Namun karena ada sanksi pidana di situ, karena itu kami gugat," kata Lilik saat mendaftarkan uji materi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (24/10/2012).
Lilik menyebutkan, Pasal 96 menyatakan, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban akan dikenakan sanksi pidana, yakni dengan ancaman kurungan selama dua tahun atau denda Rp 200 juta. Sementara pada Pasal 100, hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban akan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun.
Menurutnya, kebijakan yang dibuat oleh pembentuk UU SPPA lebih berorientasi pada perlindungan pelaku (anak). Akan tetapi, pembuat UU meniadakan perlindungan bagi hakim dan aparat penegak hukum ketika menjalankan tugas dan wewenangnya.
"Padahal dalam beberapa putusan, MK menekankan tentang keberadaan indepedensi hakim," tambahnya.
Ia menjelaskan, keberadaan asas kriminalisasi hakim dapat diartikan sebagai upaya membatasi kekuasaan hakim, terutama dalam ranah independensi hakim. Padahal, mengenai hal itu sudah diatur dalam UUD 1945.
"Pembatasan berupa upaya untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup," tandasnya.
Lebih jauh, Lilik menyebutkan, dalam praktik peradilan, pengawasan terhadap pelanggaran prosedur hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Sebab, hal itu dikategorisasikan sebagai pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sanksi yang akan dikenai berupa ketentuan administratif.
Oleh sebab itu, IKAHI meminta MK untuk membatalkan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
"Di seluruh dunia mana pun tidak ada kalau misalnya orang kesal dalam prosedur hukum acara langsung dipidanakan. Tidak ada persoalan secara personal, misalnya, adanya pelanggaran kode etik maka dia berhenti jadi hakim bukan dipidana, inilah yang disebut kelebihan emosional,"tegasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.