Jakarta, Kompas
Pengembangan ke tahap komersial terhambat karena tidak ada desakan pemerintah kepada semua pemangku kepentingan, terutama industri, untuk menindaklanjuti. Padahal, berbagai keuntungan dapat diraih dalam penggunaan bahan bakar nabati, mulai dari menyerap tenaga kerja hingga mengurangi impor bahan bakar minyak.
Hal ini diuraikan Djatnika S Puradinata, penasihat Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia, Rabu (17/10).
Indonesia yang memiliki keragaman hayati tinggi sesungguhnya memiliki bibit unggul bioetanol. Ada peneliti Indonesia menemukan jenis tebu dari Pasuruan yang memiliki produktivitas tinggi, tetapi tidak dimanfaatkan oleh industri dalam negeri. Hasil riset, kata Djatnika, dikembangkan dan dibudidayakan di Brasil dan Kolumbia.
Budidaya di Indonesia juga masih menggunakan cara konvensional, belum mengembangkan teknik budidaya dan mekanisasi pertanian skala besar. Di Lampung ada jenis singkong yang dapat mencapai 100 ton per hektar, tetapi kemampuan budidaya petani di lapangan hanya 20 ton per hektar.
Menurut Djatnika, yang juga penasihat Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia, dari segi budidaya dan produksi bioetanol, peneliti di negeri ini perlu didorong untuk menguasai teknologi modern yang efisien dan efektif. Di Inggris dan Amerika Serikat, teknologi pembuatan bioetanol telah sampai generasi kedua, yaitu pengolahan bioetanol langsung dari selulosa. Selama ini, pengolahan melalui pemanasan suhu tinggi dan fermentasi.
Selain itu, pemerintah belum mendorong industri otomotif memproduksi kendaraan bermotor yang dapat menggunakan
Untuk mendorong meningkatnya penggunaan bioetanol di Indonesia, subsidi diperlukan. ”Implementasi kebijakan subsidi pemerintah sebenarnya telah diberlakukan, tetapi tidak jalan. Dana yang disediakan tidak terserap karena ketidakseriusan pihak terkait menjalankan program,” kata pakar energi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Arya Rezavidi.