Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Bersih-bersih

Kompas.com - 08/10/2012, 09:31 WIB

Oleh KHAERUDIN

Ungkapan miskomunikasi saat penggeledahan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di markas Korps Lalu Lintas dihentikan sementara selama hampir empat jam oleh petugas Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 30 Juli lalu, sepertinya masih berlangsung hingga kini. Buntut keberanian KPK mengobrak-abrik salah satu dapur Polri masih terasa hingga kini.

Meskipun jika bicara undang-undang, akan sangat terang benderang jalan KPK menyidik kasus ini sangat bisa dibenarkan. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto pernah mengungkapkan, kasus korupsi pengadaan simulator berkendara untuk ujian surat izin mengemudi di Korlantas ini diselidiki KPK sejak awal Januari silam. KPK memutuskan, penyelidikan kasus ini harus ditingkatkan menjadi penyidikan pada 27 Juli. Ketika itu, surat perintah penyidikan yang diteken pimpinan KPK menyebutkan tersangka dalam kasus ini adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan kawan-kawan.

Ada masa tiga hari sejak surat perintah penyidikan (sprindik) diteken pimpinan KPK hingga penggeledahan di markas Korlantas. Sehari sebelum penggeledahan, Ketua KPK bertandang ke Mabes Polri menemui Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo untuk memberitahukan bahwa KPK menyidik kasus pengadaan simulator di Korlantas. Dari cerita Abraham, Kapolri saat itu mempersilakan KPK menyidik kasus tersebut.

Itulah yang membuat langkah KPK menggeledah markas Korlantas sejak pukul 16.00 berlangsung lancar. Seorang pejabat KPK mengungkapkan, bahkan petugas Korlantas mempersilakan penyidik KPK menggeledah beberapa ruangan, hingga akhirnya datang petugas berpangkat komisaris besar dari Bareskrim Mabes Polri yang meminta penggeledahan dihentikan.

Sempat terjadi ketegangan karena penyidik KPK mengatakan langkah mereka dibenarkan UU. Saat diminta menunjukkan izin dari Kapolri untuk menggeledah markas Korlantas, penyidik KPK malah memperlihatkan surat izin penggeledahan dari pengadilan.

Meski penggeledahan bisa kembali dilakukan, setelah dihentikan, KPK tak mulus membawa barang bukti kembali ke kantor mereka. Ketika barang bukti bisa dibawa ke KPK, masih ada petugas dari Bareskrim Mabes Polri yang ikut menjaganya. Ini memang bagian dari kesepakatan KPK dengan Polri.

Hanya tiga hari sejak KPK menggeledah markas Korlantas, tepatnya tanggal 2 Agustus, Polri mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus korupsi pengadaan simulator di Korlantas ke kejaksaan. SPDP itu disertai nama-nama tersangka, antara lain, mantan Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo serta dua rekanan pengadaan, Budi Susanto dan Sukotjo Bambang. Tiga nama ini sebenarnya sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka.

Polri ngotot berhak menyidik kasus korupsi pengadaan simulator ini meskipun KPK telah menyidik kasusnya terlebih dahulu. Kewenangan KPK tersebut tertera dalam UU No 30/2002 tentang KPK. Pasal 50 Ayat 1, 3, dan 4 UU KPK mengatur penanganan sebuah kasus korupsi jika ada penegak hukum selain KPK yang ikut terlibat. Ayat 3 menyebutkan, ”Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan”. Pasal 4 menegaskan, ”Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan tersebut segera dihentikan”. Terang dan jelas.

Pimpinan KPK sadar betul, penyidikan kasus korupsi simulator bakal penuh tantangan. Salah seorang unsur pimpinan KPK mengatakan, sebelum memutuskan kasus ini ditingkatkan menjadi penyidikan, terlebih dulu dibicarakan mitigasi serangan balik terhadap KPK.

”Semua dibicarakan, intinya kami memetakan semua potensi serangan balik. Mitigasinya juga telah kami siapkan,” katanya.

Salah satunya adalah bagaimana jika terjadi kriminalisasi seperti yang terjadi pada mantan unsur pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dan ternyata, terulang lagi saat upaya penangkapan penyidik KPK Komisaris Novel Baswedan.

Namun, memang sebaik apa pun mitigasi itu dipersiapkan, KPK tetap hanya bisa menduga apa bentuknya tanpa bisa memastikannya. Contohnya adalah penarikan besar-besaran penyidik KPK oleh Mabes Polri pada September lalu. Polri beralasan ke-20 penyidik itu sudah habis masa penugasannya.

Langkah KPK ”membersihkan” Korlantas masih belum berjalan mulus. Andai saja Presiden Yudhoyono mau mencontoh Ratu Inggris yang memberi dukungan kepada Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong membersihkan kepolisian negara tersebut, mungkin hari ini dan di masa depan, kita akan melihat Polri yang bersih dan dipercaya rakyat. Jalan panjang rupanya masih harus ditempuh KPK.

Berita terkait dapat diikuti dalam topik:
Polisi vs KPK
Dugaan Korupsi Korlantas Polri

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

    Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

    Nasional
    Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

    Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

    Nasional
    “Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

    “Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

    Nasional
    Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

    Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

    Nasional
    Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

    Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

    Nasional
    Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

    Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

    Nasional
    Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

    Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

    [POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

    Nasional
    Kualitas Menteri Syahrul...

    Kualitas Menteri Syahrul...

    Nasional
    Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

    Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

    Nasional
    Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

    Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

    Nasional
    Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

    Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

    Nasional
    Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

    Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

    Nasional
    Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

    Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com