Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tamparan Menuju 2014

Kompas.com - 26/09/2012, 10:52 WIB
Oleh Saldi Isra

Tanpa harus menunggu perhitungan akhir Komisi Pemilihan Umum Daerah, hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta: pasangan calon Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki) menang atas pasangan Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara).

Bahkan, tak perlu waktu lama pula, Fauzi Bowo pun langsung memberikan ucapan selamat kepada Jokowi. Dalam batas penalaran yang wajar, hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta seharusnya dimenangkan oleh pasangan Foke-Nara. Selain posisi Foke yang petahana gubernur DKI Jakarta, pasangan Foke-Nara didukung pula oleh koalisi Partai Demokrat, Golkar, Hanura, PAN, PKB, PBB, PMB, PKNU, PPP, dan PKS. Berdasarkan hasil pemilu anggota DPRD DKI Jakarta 2009, koalisi tambun (over-size) parpol pendukung Foke-Nara ini meraih lebih dari 73 persen suara pemilih.

Sementara itu, masih dalam batas penalaran yang wajar pula, harusnya duet Jokowi-Basuki tak masuk putaran kedua, apalagi memenangi pemilihan. Selain bukan petahana di DKI Jakarta, Jokowi-Basuki hanya didukung oleh PDI-P dan Gerindra dengan dukungan suara kurang dari 16 persen pemilih. Jikalau hanya melihat basis dukungan parpol, capaian Jokowi-Basuki dapat dinilai amat fenomenal.

Dari berbagai perspektif, kemenangan Jokowi-Basuki adalah bentuk kemenangan akal sehat dan sekaligus kehancuran pragmatisme parpol pendukung Foke-Nara. Dikatakan begitu, gejala umum yang berkembang beberapa waktu belakangan, parpol lebih mengandalkan dukungan uang dan kekuasaan daripada figur yang punya pemahaman kuat terhadap kebutuhan rakyat.

Merujuk bentangan fakta hasil pemilihan gubernur DKI, yang perlu dapat apresiasi adalah logika pemilih tak mau ditaklukkan oleh logika parpol. Bahkan, saat parpol berjalan dengan logikanya sendiri, berapa pun banyak dan besarnya koalisi dibangun, pemilih mampu membuktikan, daulat rakyat lebih mangkus dibandingkan daulat parpol.

Apabila diletakkan dalam konteks target yang hendak dicapai dari pemilu, kekalahan Foke-Nara harus dibaca sebagai bentuk hukuman nyata pemilih bagi parpol yang tak peduli dengan suara rakyat. Bahkan lebih jauh dari itu, hasil pemilihan gubernur DKI benar-benar menjadi tamparan hebat di tengah hegemoni parpol menuju Pemilu 2014.

Tetap sentralistik

Hadirnya pasangan Jokowi- Basuki memang terbilang unik. Selain pendatang baru di tengah belantara politik Jakarta, keduanya lebih tepat dikatakan sebagai eksperimen PDI-P dan Gerindra di tengah ”kerumunan” parpol yang sejak semula cenderung merapat ke Foke-Nara. Karena itu, tidak terlalu berlebihan pendapat politikus senior Partai Golkar, Zainal Bintang, hasil Pilkada DKI menunjukkan bulan madu politik pencitraan dan parpol yang hanya berorientasi pada kekuasaan sudah di ujung senja (Kompas, 22/9).

Sebetulnya, tawaran untuk memilih tokoh alternatif tidak hanya bersumber dari duet Jokowi-Basuki. Ketika putaran pertama, Faisal Basri-Biem Benjamin juga hadir sebagai calon alternatif. Dengan adanya calon alternatif yang tidak tunggal, keberhasilan pasangan Jokowi-Basuki membuktikan bahwa calon alternatif masih perlu dukungan mesin yang efektif untuk meraih dukungan pemilih. Tanpa itu, bukan tidak mungkin nasib yang menimpa Faisal-Biem akan berlaku pula kepada Jokowi-Basuki.

Terlepas dari keberhasilan pasangan racikan PDI-P dan Gerindra ini, apabila boleh sedikit menoleh ke belakang, hadirnya pasangan Jokowi-Basuki belum merupakan hasil dari sebuah proses internal parpol yang terbuka dan partisipatif. Dengan posisi itu, hadirnya duet Jokowi-Basuki tetap harus dipandang sebagai bentuk hegemoni parpol dengan proses yang sentralistik (top- down). Untungnya hasil pilihan hegemoni masih bisa diterima pemilih sebagai tokoh alternatif.

Sekiranya Jokowi-Basuki ditawarkan sebagai hasil dari sebuah proses yang terbuka dengan pola yang bottom-up, kehadirannya akan kelihatan lebih elegan dan orisinal. Banyak kalangan berpikir, dengan proses yang partisipatif, parpol dipaksa memiliki pola yang demokratis dalam mengajukan calon guna mengisi jabatan politik strategis, termasuk dalam pengisian jabatan kepala daerah. Tanpa sebuah pola yang baku, hegemoni parpol sulit dipangkas. Dalam proses pemilihan gubernur DKI, misalnya, parpol bisa menawarkan calon alternatif yang diterima rakyat. Namun, karena pola internal yang tidak baku dan tak terbuka, sangat mungkin di tempat lain terjadi perilaku yang sebaliknya.

Menuju 2014

Merupakan pilihan bijak sekiranya kita segera keluar dan meninggalkan euforia kemenangan duet Jokowi-Basuki. Menuju Pemilu 2014, terutama pemilihan presiden (dan wakil presiden), berharap kepada parpol untuk menghadirkan tokoh alternatif sangat mungkin seperti seekor burung pungguk merindukan bulan. Bagaimanapun, sejauh ini belum kelihatan partai membuka dan menyediakan ruang bagi calon alternatif.

Kalau ada yang berpandangan bahwa kemunculan Jokowi-Basuki membuka peluang munculnya kader potensial dari internal parpol yang selama ini terhalang hegemoni elite tertinggi parpol menuju Pemilu 2014, pandangan demikian akan segera terkoreksi. Melihat gejala saat ini, parpol lebih banyak memosisikan diri sebagai ”perahu” bagi elite tertinggi menuju 2014. Pola yang mapan terbangun, posisi sebagai elite tertinggi parpol menjadi semacam jalan bebas hambatan menuju posisi RI-1 atau RI-2.

Karena itu, kader potensial yang berasal dari internal parpol yang berpeluang jadi calon alternatif sulit muncul ke permukaan. Dalam hal ini, figur seperti Teras Narang dan Ganjar Pranowo (PDI-P), Jusuf Kalla dan Hajriyanto Tohari (Golkar), Yuddy Chrisnandi (Hanura), Lukman Hakim Saifuddin (PPP), Fadli Zon (Gerindra), serta puluhan nama lainnya tak mungkin menjadi figur alternatif. Mereka hanya mungkin hadir sekiranya parpol melakukan proses perekrutan yang bottom-up dan terbuka.

Kalau yang dari internal tidak mudah, tentunya calon alternatif dari luar parpol jauh lebih sulit. Merujuk aturan yang ada, kesulitan ini benar-benar jadi jalan buntu karena tak tersedianya ruang bagi calon perseorangan (yang bukan diajukan parpol) menjadi calon presiden. Karena itu, figur seperti Moh Mahfud MD, Anies Baswedan, Irman Gusman, Imam B Prasodjo, Teten Masduki, dan sederetan nama lain sulit hadir menjadi calon sebagai alternatif. Bahkan, kalau publik mendesak PDI-P dan Gerindra mengajukan Jokowi kembali sebagai calon alternatif menuju Pemilu 2014, kedua parpol ini pasti akan menolak.

Dalam batas-batas tertentu, hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta memberi sedikit ”kemewahan” dalam panggung politik negeri ini. Namun, kemewahan akan munculnya calon alternatif dalam Pemilu 2014 hampir mustahil terjadi. Kemustahilan itu hanya mungkin meluruh kalau parpol mau dan mampu mengambil pelajaran dari tamparan yang hadir dari hasil pemilihan gubernur DKI.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang; Anggota Badan Pekerja Forum Kebangsaan Gerakan Indonesia Memilih

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com