Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Putusan Bebas Perlu Dikoreksi MA

Kompas.com - 26/09/2012, 05:16 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan vonis bebas mantan Bupati Sragen Untung Sarono Wiyono mendapatkan apresiasi. Namun, MA diingatkan, masih banyak putusan bebas terhadap terdakwa kasus korupsi oleh pengadilan tindak pidana korupsi di daerah yang belum dikoreksi.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, Selasa (25/9), mengungkapkan, setidaknya 68 terdakwa masih berstatus bebas oleh putusan pengadilan tipikor. MA baru menganulir tiga putusan bebas dari total 71 terdakwa, yaitu Wali Kota Bekasi (nonaktif) Mochtar Mohammad dan mantan Bupati Subang Eep Hidayat (keduanya divonis Pengadilan Tipikor Bandung) serta mantan Bupati Sragen Untung Wiyono (Pengadilan Tipikor Semarang).

Juru Bicara MA Djoko Sarwoko, yang juga Ketua Muda Pidana Khusus MA, kepada wartawan mengungkapkan, pihaknya sudah menerima hasil uji eksaminasi sejumlah putusan bebas yang dilakukan ICW. Hasil eksaminasi itu dijadikan dasar pertimbangan oleh MA untuk melakukan mutasi promosi hakim.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur sebelumnya juga mengungkapkan, putusan bebas lainnya akan dinilai oleh majelis kasasi yang dibentuk oleh Ketua MA. Para hakim agung akan memeriksa secara cermat apakah putusan bebas itu memang sudah semestinya atau sengaja dibuat bebas.

Terkait soal putusan perkara itu, DPR tengah membahas sanksi terhadap hakim yang putusannya melanggar undang-undang, bertentangan dengan realitas masyarakat, dan menimbulkan keonaran. Sanksi itu diusulkan agar hakim lebih berhati-hati dalam memutus perkara.

Klausul hukuman penjara atau denda bagi para hakim agung yang salah memutus perkara itu tertuang dalam Pasal 98 Rancangan Undang-Undang tentang MA. Dalam pasal itu disebutkan, para hakim agung diancam hukuman penjara paling lama 10 tahun atau denda paling besar Rp 10 miliar.

Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil menjelaskan, ancaman hukuman bagi hakim itu sebatas usulan. ”Fraksi-fraksi juga belum sepakat dengan gagasan ini,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu. Ia menjelaskan, gagasan tersebut muncul karena DPR ingin para hakim agung lebih berhati-hati dalam memutus perkara yang ditangani. Sebab, sampai saat ini, masih ada oknum hakim yang memutus berdasarkan ”pesanan” pihak tertentu dengan dalih kemandirian dan independensi.

Fraksi PKS, kata Nasir, tidak setuju dengan gagasan itu. Sebab, Fraksi PKS khawatir hal itu justru akan membuat hakim takut dalam mengambil putusan. Selain itu, pemidanaan juga dikhawatirkan justru akan merampas independensi hakim.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Saan Mustopa, juga mengatakan, prinsipnya putusan hakim tidak bisa diintervensi, tetapi tetap harus ada perangkat untuk mengontrol perilaku hakim.

Sementara itu, kata Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar, Komisi Yudisial meminta DPR meninjau ulang pasal pemidanaan terhadap hakim agung itu karena berpotensi mengganggu independensi kekuasaan kehakiman. (NTA/ANA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com