Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dipo: Presiden Dukung KPK

Kompas.com - 25/09/2012, 03:59 WIB

Jakarta, Kompas - Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengemukakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung penuh eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi. Dukungan itu diungkapkan Dipo, Senin (24/9) di Gedung KPK, setelah memberikan rekaman rapat pada 9 Oktober 2008.

”Presiden full support KPK,” ujar Dipo, Senin. Saat ditanya bagaimana bentuk dukungan nyata Presiden saat KPK menghadapi ancaman pengurangan beberapa kewenangan spesifik yang dimilikinya, seperti penyadapan dan penuntutan melalui revisi undang-undang oleh DPR, Dipo tak bisa menjawab spesifik.

”Kalau itu di luar, pokoknya kita support KPK. Kami support pemberantasan korupsi,” kata Dipo.

Menanggapi pernyataan tersebut, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, semua pihak hendaknya jangan hanya berwacana. ”Sebaiknya memang mereka yang mengatakan mendukung KPK tidak hanya berwacana saja, tetapi lakukan juga tindakan nyata. Sudah saatnya kita menghentikan wacana membantu KPK, tetapi kenyataannya tidak ada langkah-langkah nyata sama sekali,” katanya.

Johan mengatakan, faktanya saat ini ada langkah dan upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi melalui pengurangan kewenangan yang dimiliki KPK. Bahkan, sebagian anggota DPR nyata-nyata ingin memereteli kewenangan KPK melalui revisi UU.

Menurut Johan, mereka yang ingin memereteli kewenangan KPK jelas tidak memahami filosofi pendirian lembaga ini. KPK dibentuk sebagai antitesis dari korupsi yang dinilai merupakan kejahatan luar biasa.

Penghinaan parlemen

Terkait pemberian rekaman rapat ke KPK, Akbar Faizal, anggota Panitia Pengawas DPR untuk Penuntasan Kasus Bank Century dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, menilai, tindakan Dipo sebagai contempt of parliament (penghinaan terhadap parlemen) dan menunjukkan kedangkalan pemahaman Dipo terhadap sistem ketatanegaraan.

Bambang Soesatyo, anggota Timwas dari Fraksi Partai Golkar, juga menyatakan, tindakan Dipo harus dikritik karena menunjukkan ketidakpahamannya terhadap konstitusi. ”DPR yang meminta rekaman itu dan kami berhak mendapatkannya sebagai bagian dari upaya mengawasi proses hukum kasus Bank Century,” kata Bambang.

Fahri Hamzah, anggota Timwas dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menuturkan, dalam rapat tim kecil Timwas Century Senin kemarin, sebagian besar fraksi di DPR setuju meminta penjelasan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, dan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.

Kebijakan krisis

Terkait kebijakan yang diambil pemerintah untuk merespons krisis ekonomi 2008, Wakil Presiden Boediono menegaskan, kebijakan tersebut sudah benar. Dengan respons yang tepat tersebut, krisis ekonomi saat itu tidak sampai berdampak pada tekanan pada sistem politik di dalam negeri.

”Orang melihat krisis ini ringan seperti lewat begitu saja karena pemerintah dan unsur-unsur negara kita mengambil langkah yang tidak salah, tidak sampai menimbulkan dampak pada sistem politik kita. Tahun 2009 pemilu berjalan baik dan aman sampai sekarang,” kata Boediono di hadapan 127 peserta pendidikan Lembaga Ketahanan Nasional di Kantor Wapres.

Dalam pidato sekitar 35 menit tanpa teks itu, Wapres tidak menyinggung mengenai kebijakan pemerintah dalam memberikan dana talangan Rp 6,7 triliun kepada Bank Century. Namun, seperti diketahui, pada tahun 2008 pemerintah mengambil kebijakan menyelamatkan Bank Century dengan memberikan dana talangan Rp 6,7 triliun.

Kebijakan itu diambil untuk menghindari dampak sistemis yang mungkin muncul dari persoalan pengelolaan keuangan di Bank Century. Pemberian dana talangan itu terus dipersoalkan sejumlah kalangan, termasuk terkait dugaan pelanggaran hukumnya.

Saat memulai pidatonya tentang krisis ekonomi, Wapres menyatakan, antara situasi ekonomi dan sistem politik selalu ada kaitan erat. Dalam masa krisis, sistem politik biasanya terancam akan rontok karena ada tekanan luar biasa dari krisis ekonomi.

Wapres merunut sejarah krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang memberikan tekanan besar bagi sistem politik di Indonesia hingga terjadi perubahan sistem politik. Saat itu, pemerintah mengambil keputusan menutup bank-bank kecil yang total asetnya hanya sekitar 2,5 persen dari total aset bank-bank di Indonesia. Kebijakan itu justru memunculkan ketidakpercayaan masyarakat kepada perbankan. Masyarakat menarik asetnya di bank serta memindahkannya ke bank-bank besar di dalam dan luar negeri.

”Saya kebetulan waktu itu (1997-1998) di tengah pusaran krisis, tetapi bukan pengambil keputusan yang tinggi. Kebetulan tahun 2008 terjadi krisis lagi dan saya berada di tengah pusaran juga,” kata Boediono.

(BIL/FAJ/NWO/WHY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com