Jakarta, Kompas -
Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Tohari mengatakan, Partai Golkar tetap akan mengusung Aburizal Bakrie sebagai calon presiden 2014 karena sudah diputuskan dalam rapat pimpinan nasional (rapimnas) pada 1 Juli 2012. Keputusan ini pun tidak akan dievaluasi.
“Lagi pula, keputusan rapimnas baru berjalan tiga bulan, bahkan kurang. Saya rasa ini belum bisa—terlalu singkat untuk berwacana soal evaluasi—tidak relevan, tidak realistis, dan terlalu dini. Kalau sudah setahun, mungkin saja relevan dan masuk akal,” kata Hajriyanto yang saat dihubungi berada di Yogyakarta, Sabtu (22/9).
Hasil Pilkada DKI Jakarta dengan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama mengungguli Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menunjukkan masyarakat menginginkan perubahan. Sosok Joko Widodo dan Basuki, seperti terungkap dalam berbagai survei, dianggap mewakili semangat perubahan, berintegritas, dan jujur. Keunggulan ini pun sangat bertumpu pada figur keduanya, bukan pada parpol pengusung.
Pilkada DKI Jakarta dan segala fenomenanya, menurut Hajriyanto, akan menjadi pelajaran penting bagi semua parpol. Partai Golkar pun akan mempertimbangkan semua faktor itu.
Oleh karena itu, untuk pemilu legislatif, Partai Golkar tidak akan terlalu mengikuti asumsi bahwa partai akan memperoleh suara signifikan, siapa pun calon legislatifnya. Caleg akan dipilih dengan mempertimbangkan kualifikasi figur. Paling tidak, para anggota Fraksi Partai Golkar di DPR akan kembali dicalonkan. Caleg lainnya dipilih dari kader internal dan kader profesional.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso secara terpisah menambahkan, pertimbangan primordialisme, ideologi politik, serta isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memang kalah pamor ketimbang ketokohan dalam Pilkada DKI Jakarta. Sosok yang menarik perhatian media massa dan masyarakat juga diperlukan.
Meskipun begitu, kata Priyo, untuk pilpres, parpol tidak bisa hanya berkaca pada hasil Pilkada DKI Jakarta. Indonesia sangat luas dan tidak semua penduduk Indonesia mudah terpengaruh perubahan seperti di Jakarta. Hal ini karena tingkat pendidikan masyarakat yang berbeda.