Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA Perketat Pengawasan

Kompas.com - 22/08/2012, 02:08 WIB

Jakarta, Kompas - Pascapenangkapan dua hakim ad hoc tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung memperketat pengawasan terhadap para hakim khususnya hakim tipikor.

Juru bicara MA yang juga Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko, Selasa (21/8) di Jakarta, mengatakan, MA sudah mengantongi nama-nama hakim sekaligus pengadilan mana saja yang kinerjanya dinilai bermasalah. Saat ini, MA mengawasi secara ketat Pengadilan Tipikor Bandung dan Surabaya.

Dua hakim karier bersertifikasi tipikor di Pengadilan Tipikor Bandung dinilai bermasalah. Djoko mengatakan, pihaknya sudah mengusulkan agar surat keputusan untuk kedua hakim tersebut sebagai hakim tipikor dicabut dan mereka dipindah.

Di Surabaya, kata Djoko, seorang hakim ad hoc tipikor sering mendapat bahan pertanyaan bukan dari berkas-berkas perkara, tetapi dari jaksa atau pengacara. Hakim tersebut pernah mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) enam kali yang isinya setuju membebaskan.

”Saya kira ada yang tidak beres ini. Mind set-nya masih mind set pengacara. Ini kan berbahaya,” ujar Djoko tanpa bersedia menyebutkan identitas hakim yang mantan pengacara itu.

Djoko mengungkapkan, salah satu persoalan besar pada para hakim ad hoc tipikor adalah perubahan mind set untuk tidak memproyekkan perkara. Sebanyak 79 persen dari 186 hakim ad hoc adalah mantan pengacara dengan pengalaman 10-20 tahun.

Dua hakim ad hoc tipikor yang tertangkap tangan KPK di Semarang, Jawa Tengah, pada 17 Agustus lalu, Kartini Juliana Mandalena Marpaung dan Heru Kisbandono, juga mantan pengacara. MA memberhentikan sementara kedua hakim itu. ”Hakim ad hoc yang mengangkat dan memberhentikan (secara permanen) adalah Presiden,” ujarnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, KPK masih mengembangkan kasus Kartini dan Heru yang tertangkap tangan menerima suap dari pengusaha Sri Dartuti. Sri diduga adik Ketua DPRD Grobogan M Yaeni yang kasusnya disidangkan Kartini.

Milik publik

Djoko tidak sepakat dengan usulan pengurangan pengadilan tipikor. Keberadaan 33 pengadilan tipikor di seluruh provinsi sesuai Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Apalagi, sistem pemerintahan yang desentralistis membuat korupsi tersebar di pelosok kabupaten/kota. MA meminta semua pihak turut mengawasi pengadilan tipikor.

Anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, menuturkan, kasus seperti tertangkapnya dua hakim ad hoc tipikor di Semarang sudah diperkirakan saat menyusun UU 46 Tahun 2009. Namun, kasus itu tidak serta-merta harus disikapi dengan menutup pengadilan tipikor di daerah.

Ketua Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Theofransus Litaay, dan Koordinator Divisi Monitoring Kinerja Aparat Penegak Hukum Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Jateng Eko Haryanto, di Semarang, mengatakan, kasus tersebut harus menjadi pelajaran bagi MA. Ke depan dalam proses seleksi calon hakim tipikor, MA harus memperhatikan masukan dari lembaga antikorupsi mengenai rekam jejak calon hakim.

(ana/nwo/son/uti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com