Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wangi Cengkeh di Zona Bahaya Gamalama

Kompas.com - 26/07/2012, 15:19 WIB

Oleh Ahmad Arif dan M Zaid Wahyudi

KOMPAS.com - Bunga cengkeh dan fuli mencipta rona kuning kemerahan pada pepohonan di jalur pendakian Gunung Gamalama. Tanah yang bertabur rempah menguarkan aroma wangi, menutupi jejak kelam Gamalama.

Masih pukul 06.45. Udara di lereng Gamalama pada akhir Juni 2012 terasa sejuk. Langit pun cerah. Kami memulai perjalanan dari rimbun kebun cengkeh di Kelurahan Moya, Ternate Tengah. Layar global positioning system (GPS) menunjukkan ketinggian 284 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di kejauhan, puncak Gamalama yang berketinggian 1.715 mdpl menjulang.

Dua jam berjalan, kami beristirahat di kebun cengkeh dan pala terakhir, berbatasan dengan hutan. Ketinggiannya 925 mdpl. ”Kita sekarang sudah di Pos IV,” kata Rusmin (27), rekan pendakian dari Kelompok Pencinta Alam ”Green Air” Ternate.

Ia mengeluarkan biji pala yang dipungut di jalan. ”Pala, fuli (bunga pala), dan cengkeh yang membuat kami tinggal dekat Gamalama,” kata Rusmin.

Syahrul (22) dan Abubakar (21), mahasiswa pencinta alam dari Universitas Khairun, Ternate, menyusul. Kami istirahat di lereng Gamalama sambil menikmati udara pagi yang menguarkan semerbak cengkeh dan pala.

Cengkeh (Eugenia aromatica) dan pala (Myristica fragrans) adalah urat nadi Kota Ternate selama berabad-abad. Ternate adalah tanah asal cengkeh selain Tidore, Makian, Bacan, dan Moti. Dari kelima pulau ini pohon cengkeh menyebar. Adalah Gubernur Sipil Perancis di Mauritius, Pierre Poivre, yang menyelundupkan benih cengkeh dari Ternate tahun 1770. Dia lalu menanam cengkeh di Zanzibar, Tanzania, yang kini dikenal sebagai produsen cengkeh terbaik.

Walau mengalami pasang surut, cengkeh masih menjadi sandaran hidup warga Ternate. Asman Ali, petani cengkeh di jalur pendakian Kelurahan Marikrubu, mengatakan, setiap tahun ia memperoleh Rp 16 juta dari cengkeh.

Bahaya Gamalama

Memasuki hutan Gamalama, rumput dan semak merapat. Namun, tetumbuhan meranggas dan roboh.

Semakin mendekati puncak, jejak kehancuran akibat letusan Gamalama, 5 Desember 2011, makin kentara. Di ketinggian 1.602 mdpl, kami tiba di hamparan bebatuan dan pasir. Tak sebatang tanaman pun terlihat.

Setelah enam jam mendaki, kami tiba di puncak. Asap putih tebal menguar dari dua kepundan. Puncak itu berupa kerucut dengan kemiringan 60 derajat. Batuan yang menyusunnya melorot saat diinjak.

Kini, gundukan batuan ini meneror warga dalam bentuk banjir lahar. Dalam enam bulan terakhir, 15 orang tewas disapu lahar. Sedikitnya 150 rumah hancur dan masih ada 36 keluarga yang mengungsi di Asrama Persatuan Sepak Bola Indonesia Ternate.

Sebagian besar korban adalah pendatang dari Jawa dan Bugis. Mereka tidak memiliki memori terhadap bencana Gamalama masa lalu. ”Saat membeli tanah di sini, penjual tidak bilang kalau ini daerah rawan bencana,” kata Karyadi (56), pria asal Temanggung, Jawa Tengah, yang sudah empat tahun tinggal di tepi Sungai Tugurara, Dufa- Dufa. Separuh rumah Karyadi hancur dilanda lahar. Beruntung, ia dan keluarga selamat.

”Banjir lahar ini hanya sebagian kecil bahaya Gamalama,” kata Akhmad Zaenudin, geolog dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Gamalama, menurut Zaenudin, pernah memberikan petaka dalam berbagai bentuk letusan mematikan. Jejak letusan gunung ini terpahat di setiap lekuk Pulau Ternate. Bahkan, pulau seluas 111,8 kilometer persegi ini merupakan bagian dari tubuh Gunung Gamalama, yang kaki- kakinya berada di dalam laut. Ketinggian gunung ini jika diukur dari dasar laut mencapai lebih dari 3.000 meter.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com