Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesahihan Hasil Survei Dipertanyakan

Kompas.com - 17/07/2012, 13:21 WIB
Imanuel More

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Adu survei seolah-olah telah menjadi warna tersendiri dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Sayangnya, hasil survei bukan saja beragam, melainkan juga bisa sangat berbeda dan terindikasi sarat kepentingan.

"Bagaimana tidak, hanya beda satu hari, bedanya sangat besar. Apa mungkin opini masyarakat berubah hanya dalam 24 jam?" kata peneliti Pride Indonesia, Agus Herta Sumarto, dalam diskusi bertema "Survei, Ilmiah atau Dagang" di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/7/2012).

Ia mengambil contoh hasil survei dari dua lembaga survei yang aktif dalam Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Hasil survei yang berlangsung dalam periode berjarak sehari itu ternyata sangat berbeda.

Survei oleh lembaga pertama menempatkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli atau Foke-Nara pada posisi pertama dengan raihan 42,40 persen dukungan. Posisi kedua diduduki pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama atau Jokowi-Ahok dengan 31,80 persen dukungan.

Hasil tersebut berbeda cukup signifikan dari hasil survei yang dikeluarkan lembaga kedua. Lembaga tersebut menyebutkan bahwa duet Foke-Nara masih menempati urutan teratas dengan 47,22 persen dukungan. Adapun Jokowi-Ahok jauh tertinggal dari pasangan Foke-Nara dengan hanya meraih 10,28 persen dukungan. Jokowi-Ahok bahkan tertinggal dari pasangan Hidayat-Didik yang meraih 15,16 persen dukungan.

"Metodenya sama, jumlah respondennya dan waktunya kurang lebih sama, pertanyaannya sama, harusnya hasilnya juga tidak berbeda jauh. Kalau tidak sama, maka keilmiahan survei justru menjadi pertanyaan," ujar Agus.

Pembicara lainnya, Didik J Rachbini, menambahkan bahwa iklim demokrasi yang bersih, jujur, dan adil bisa terganggu oleh kehadiran lembaga-lembaga survei yang terkesan telah memperdagangkan keilmiahan. "Yang benar tuh cuma 2 atau 3 (lembaga). Yang lain ada dua kemungkinan, yaitu dagang atau salah," ujar Didik yang mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI Jakarta bersama calon gubernur Hidayat Nur Wahid. Ia menyebut survei yang diadakan LP3ES dan Litbang Kompas sebagai contoh survei yang tidak didasarkan pesanan atau kepentingan bisnis.

Para pembicara sepakat, pemerintah perlu memberikan pengawasan yang lebih tegas terhadap kehadiran lembaga survei dan berbagai hasil penelitiannya yang kerap membingungkan publik. Pengawasan dalam bentuk kode etik lembaga survei perlu segera dirumuskan agar kehadiran survei publik tidak hanya bertujuan meraup keuntungan komersial ataupun menggiring opini publik demi kepentingan kontestan pilkada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com