Kabar tentang pertemuan darurat itu disampaikan seorang diplomat, Rabu (11/7), yang meminta identitasnya dirahasiakan. Menurut diplomat itu, pembahasan juga dilakukan terkait bagaimana implementasi kode etik tersebut di lapangan.
Padahal, sebelumnya semua pihak telah sepakat proses pembahasan di tingkat pejabat tinggi (senior officials meeting) antara ASEAN dan China terkait kode etik berperilaku (code of conduct/ COC) tersebut sudah bisa dimulai.
Semua anggota ASEAN sudah sepakat dengan elemen-elemen kunci yang harus ada dalam COC.
Namun, perbedaan pendapat tajam masih terjadi, terutama antara Kamboja—Ketua ASEAN tahun ini, yang juga dikenal sebagai sekutu dekat China—dan Filipina, salah satu pihak bersengketa di Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengakui adanya perdebatan, terutama soal perlu tidaknya menyinggung sejumlah insiden terkait eskalasi ketegangan di Laut China Selatan, sebulan terakhir.
Seperti diwartakan, ketegangan sempat terjadi antara China dan dua negara anggota ASEAN yang menjadi pengklaim wilayah Laut China Selatan, yakni Filipina dan Vietnam, terutama di wilayah Beting Scarborough.
Menurut Marty, memang penting bagi semua anggota ASEAN untuk mengekspresikan kepedulian atas apa yang telah terjadi. ”Namun, tetap jauh lebih penting untuk bisa maju ke depan dan memastikan berbagai bentuk insiden tidak lagi terjadi di masa mendatang,” ujar Marty.
Saat ditemui Kompas di Jakarta, Selasa, Marty membenarkan persoalan penyusunan kata dan kalimat dalam rancangan pernyataan bersama terkait COC di Laut China Selatan itu sangat sulit dilakukan.
Dalam persoalan penyebutan nama saja, negara-negara yang merasa berkepentingan ingin menggunakan kata atau kalimat yang bisa menunjukkan klaim kedaulatan mereka. Hal itu, misalnya, soal penyebutan nama Laut China Selatan, Filipina ingin perairan itu disebut dengan nama Laut Filipina Barat.
Sementara China ingin menyebut Beting Scarborough dengan nama Huayang.
Meski demikian, sikap optimistis tetap ditunjukkan Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan, yang menyebut saat ini kepedulian seluruh negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan jauh lebih besar ketimbang 10 tahun lalu.
Belum tuntasnya kesepakatan isi pernyataan bersama negara- negara ASEAN kali ini berdampak salah satunya pada tertundanya rencana pertemuan bilateral antara para menlu ASEAN dan China.
Padahal, mulai Kamis ini, pertemuan masuk ke agenda Forum Kawasan ASEAN (ARF) ke-19, yang akan diikuti Amerika Serikat, negara yang selama ini menunjukkan kepedulian besar terhadap sengketa Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dijadwalkan tiba di Phnom Penh, Rabu malam, seusai rangkaian lawatannya ke dua negara anggota ASEAN, yakni Vietnam dan Laos, sejak Selasa. Saat di Vietnam, Hillary menyatakan sangat berharap ASEAN dan China bisa segera menghasilkan kemajuan.