Hal itu dikemukakan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sugiri Syarief saat menerima jurnalis dari sejumlah negara di Asia dan Afrika yang tengah berkunjung untuk melihat pelaksanaan keluarga berencana di Indonesia, Selasa (5/6), di Jakarta.
Sugiri mengatakan, anak perempuan yang menikah muda biasanya pendidikannya terhenti. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, pernikahan di usia 15-19 tahun mencapai 41,9 persen. Ada pula pernikahan pada usia sangat muda, usia 10-14 tahun, sebesar 4,8 persen. Pernikahan pada usia sangat muda cenderung lebih tinggi di pedesaan, kelompok perempuan yang tidak bersekolah, petani, nelayan, buruh, dan masyarakat dengan ekonomi terendah.
Menurut Sugiri, perkawinan di bawah umur memperpanjang rentang usia reproduksi. Dampaknya akan lebih banyak anak yang dilahirkan. Secara nasional,
perempuan berusia 10-59 tahun yang melahirkan 5-6 anak sebesar 8,4 persen dan perempuan pada usia yang sama melahirkan anak lebih dari 7 anak sebesar 3,4 persen. Kelompok perempuan yang melahirkan lebih dari 7 anak tertinggi di Papua Barat.
Sugiri mengatakan, dengan panjangnya usia reproduksi perempuan, penggunaan kontrasepsi penting untuk mengatur kehamilan. Menurut hasil Riskesdas, penggunaan kontrasepsi pada perempuan usia 10-49 tahun yang berstatus kawin hanya 55,8 persen dan terendah di Papua Barat.
Secara terpisah, Edriana Noerdin dari Women Research Institute (WRI) mengatakan, pernikahan terlalu muda meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi karena ketidaksiapan organ reproduksi perempuan. Risiko kematian ibu meningkat seiring berulangnya persalinan. Sebaliknya, pernikahan cukup usia menurunkan angka kematian ibu.
Pernikahan muda merupakan kenyataan di sejumlah daerah di Indonesia. Saat meneliti tentang angka kematian ibu di Lombok Tengah, misalnya, peneliti WRI mendapati banyak anak perempuan dinikahkan pada usia 11-12 tahun.
Ia mengatakan, menikahkan anak dalam usia sangat muda dianggap sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan ekonomi keluarga. ”Orangtua tidak perlu lagi menghidupi anak, bahkan suaminya bisa membantu ekonomi keluarga,” ujarnya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mencantumkan, perempuan boleh menikah pada usia 16 tahun dan laki-laki minimal berusia 19 tahun. Laki-laki mudah meminta surat dispensasi dari Pengadilan Agama agar dapat menikah di bawah umur atau pada usia sangat muda di berbagai daerah.
Ia mengatakan, kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan menjadi sangat penting. Lamanya bersekolah, terutama bagi perempuan, akan menunda perkawinan.