KOMPAS.com - Mendapati anak mereka beranjak remaja, hampir semua orangtua khawatir. Pergaulan dan kontrol yang makin longgar membuat orangtua waswas. Terlebih melihat bagaimana narkotika dan obat berbahaya yang merebak kasusnya dalam pergaulan remaja.
Narkotika dapat membius siapa saja yang mencobanya, tidak mengenal status sosial mereka. Orang miskin tak berpunya atau orang kaya raya yang berlimpah hartanya. Dari sumpeknya kolong jembatan sampai kamar hotel berbintang lima, orang bisa menggunakan narkotika dan obat berbahaya (narkoba). Siapa yang terbius, amat jarang bisa melepaskan ketergantungan begitu saja. Kehidupannya dan juga keluarganya umumnya hancur berantakan.
Karena itu, hukuman terhadap penjahat narkotika, apalagi pengedar dan bandar, seharusnya keras diterapkan. Toleransi nol. Moratorium remisi terhadap narapidana narkotika diberlakukan.
Di tengah ancaman narkotika kepada generasi muda, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada narapidana narkotika. Grasi itu dinilai bertentangan dengan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) yang selama ini menggembar-gemborkan kebijakan moratorium atau pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana korupsi, narkotika, dan terorisme.
Grasi untuk Schapelle Corby (34), warga negara Australia, menjadi tanda, petinggi atau pejabat negara bersikap permisif terhadap kejahatan narkotika. Kesadaran dan pemahaman bahwa narkotika dapat merusak generasi bangsa dan kualitas sumber daya manusia Indonesia kurang dimiliki.
Jelaskan motif
Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, menilai, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono plin-plan. Di satu sisi, kebijakan Kemkumham memperketat remisi terhadap narapidana korupsi, narkotika, dan terorisme. Di sisi lain, Presiden memberikan grasi kepada narapidana narkotika.
”Apakah Kemkumham hanya menjalankan kebijakan pencitraan,” kata Bambang.
Karena kebijakan yang dinilainya plin-plan itu, rakyat perlu tahu motif pemberian grasi tersebut meski grasi merupakan hak presiden. ”Jangan sampai timbul kesan, pemerintah ditekan negara asing atau sindikat narkotika internasional,” ujarnya.
Terhadap kejahatan narkotika, apalagi terhadap pengedar atau bandar, penerapan hukum dan sanksi hukum seharusnya keras dan tidak ada toleransi.
Menurut Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional (BNN) Benny Mamoto, bahaya narkotika adalah menyerang otak generasi bangsa sehingga merusak generasi mendatang.
”Karena otak yang diserang, otak generasi bangsa yang adalah anak dan cucu kita akan melemah. Kualitas sumber daya manusia generasi bangsa juga akan memburuk karena pengaruhnya,” kata Benny.
Pembiusan terhadap otak anak-anak bangsa itu terus terjadi. Peredaran dan penggunaan narkotika terjadi setiap hari dan merata di semua daerah. Tidak hanya remaja, anak-anak pun mulai didapati kasusnya. Yogyakarta dikenal sebagai ”Kota Pelajar”. Bahkan, Yogyakarta pernah menjadi kota dengan kasus peredaran narkotika tertinggi setelah Jakarta.
Salah satu alasan meluasnya peredaran narkotika adalah permintaannya yang sangat besar di Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 240 juta jiwa. Potensi pasar yang besar itu menjadi target sindikat narkotika internasional.
Berbagai cara dilakukan sindikat lintas negara untuk memasukkan narkotika ke Indonesia. Misalnya, menyelundupkan sabu melalui alih muat kapal (transhipment) di perairan di daerah terpencil.
Sebagai contoh, Direktorat IV Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri pernah menggagalkan penyelundupan sekitar 50 kilogram narkotika jenis sabu oleh warga negara asing di Ujung Genteng, Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, modus yang dilakukan tersangka adalah melakukan alih muat sabu dari kapal ke kapal. Semula sabu dibawa dengan kapal kargo. Setelah sampai di titik tertentu, sabu dialihkan ke sekoci.
Dengan gencarnya pelaku sindikat narkotika internasional memasukkan narkotika ke Indonesia, implementasi ketentuan hukum dan sanksi hukum terhadap pelaku seharusnya diperkuat. Dengan demikian, hukuman dapat memberi efek jera.
Kepala Bagian Humas BNN Sumirat menambahkan, setelah UU No 35/2009 berlaku, ada tambahan enam terpidana mati. Sebelum UU No 35/2009 diberlakukan, ada 58 terpidana mati.
Kasus narkotika yang ditangani BNN pun meningkat. Sebagai gambaran, tahun 2010 ada 61 kasus dengan 65 tersangka. Namun, tahun 2011 BNN menangani 97 kasus narkotika dengan 159 tersangka. Uang yang beredar dari kejahatan narkotika tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 48 triliun.
Hukum bisa diatasi
Karena itu, kesadaran terhadap bahaya narkotika harus tertanam dan tumbuh pada aparat penegak hukum, pejabat negara, dan masyarakat. Jika kesadaran itu tak muncul dan ketentuan hukum dan sanksi lemah, Indonesia ibarat ”surga” bagi sindikat internasional.
Lemahnya kesadaran itu semakin tampak. Misalnya, adanya pemberian remisi atau grasi bagi pelaku kejahatan narkotika. Dengan pemberian grasi itu, dikhawatirkan aparat penegak hukum lain pun jadi permisif. Apalagi, godaan pemberantasan narkotika sangat besar karena peredaran uang yang besar. Peluang aparat penegak hukum main mata dan disuap sangat besar.
Indikasi itu tampak. Hukuman ringan membuat pengedar narkotika beranggapan hukum di Indonesia lemah, bisa dibeli.
”Indonesia pasar yang bagus karena harga bagus, pemakai besar, dan hukum masih bisa diatasi. Itu penjelasan Abbas, tersangka jaringan Iran yang saya interogasi di Thailand,” kata Benny. (FER)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.