PONTIANAK, KOMPAS -
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Syahrin Abdurrahman, akhir pekan lalu, di Pontianak, mengatakan, nelayan asing menggunakan berbagai modus untuk menjarah ikan di Indonesia.
”Modus yang paling banyak adalah masuk ke wilayah perairan Indonesia tanpa dokumen. Namun, ada pula yang memalsukan dokumen, memanipulasi persyaratan, pemindahan muatan antarkapal di laut tanpa melapor, dan berbendera ganda,” ujar Syahrin.
Penjarahan ikan oleh nelayan asing itu mengakibatkan kerugian negara sedikitnya Rp 30 triliun per tahun. Selain kerugian material secara langsung karena berkurangnya ikan, Indonesia juga mengalami banyak kerugian lain, seperti usaha perikanan dalam negeri yang tidak kondusif, melemahkan daya saing Indonesia, dan nelayan Indonesia makin terpinggirkan.
Di Laut China Selatan, kapal-kapal asing yang sering menjarah ikan, antara lain, berasal dari Malaysia, Vietnam, China, Thailand, dan Taiwan. Di utara Sulawesi, kapal asing yang menjarah berasal dari Filipina, sedangkan di Arafuru, penjarah berasal dari Thailand, Taiwan, dan China. Dari sejumlah penelitian, Arafuru merupakan salah satu perairan yang menyimpan potensi ikan sangat tinggi.
Tahun 2011, kapal asing yang ditangkap saat menjarah ikan di perairan Indonesia mencapai lebih dari 200 buah. Pada 2012, sampai dengan Mei, ada 60 kapal asing yang ditangkap. Sayangnya, armada patroli yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini terbatas.
Direktur Kapal Pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan Yorfatrik Nazda mengatakan, dari 24 kapal pengawas berukuran 28 meter hingga 42 meter, hanya 16 kapal pengawas yang bisa menjelajah hingga ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kapal asing yang melihat kedatangan kapal patroli Indonesia biasanya langsung mengarahkan kapal ke arah ZEE lalu keluar dari perbatasan.
”Sisa kapal pengawas lainnya sudah berumur antara delapan dan 10 tahun sehingga perlu peremajaan. Kapal pengawas yang ada tetap kami optimalkan dengan menambah hari pengawasan. Tahun 2010, lama pengawasan dalam setahun sekitar 100 hari, tetapi 2011 sudah naik menjadi 180 hari,” kata Yorfatrik menjelaskan.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Saut Parulian Hutagalung mengatakan, industri perikanan di Indonesia masih sering kekurangan bahan baku. Padahal, 80 persen produksi ikan tangkap dan ikan budidaya sudah dipasok untuk konsumsi dalam negeri dan sisanya diekspor.
”Kalau penjarahan ikan secara ilegal itu bisa ditekan, akan tersedia bahan baku yang lebih banyak untuk industri dalam negeri. Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan sangat besar, tetapi sering kali kekurangan bahan baku untuk industri,” kata Saut.
Produksi ikan tangkap pada tahun 2011 mencapai 5,4 juta ton. Sementara itu, produksi perikanan budidaya mencapai 6,8 juta ton.