Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hilir dari Persoalan di Masyarakat yang "Sakit"

Kompas.com - 07/05/2012, 03:19 WIB

Penelantaran anak merupakan hilir dari bermacam persoalan kekerasan, termasuk kekerasan dalam pacaran. Belum lagi stigma masyarakat yang masih memandang miring anak yang lahir di luar hubungan pernikahan.

Ketua Divisi Pemulihan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherawati mengatakan, kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan salah satu persoalan yang kerap membuat perempuan terpaksa meninggalkan bayinya, bahkan menggugurkan kandungan.

”KDP selalu berada di peringkat tiga kasus kekerasan pada perempuan yang tercatat di Komnas Perempuan,” ucap Nur.

Pada banyak kasus, terjadi pengingkaran janji yang banyak diucapkan semasa pacaran. ”Banyak orang yang berjanji manis ketika pacaran demi memikat pasangannya. Ada juga yang sudah mengenalkan orangtua mereka sebagai bukti keseriusan berpacaran. Kenyataannya, banyak janji yang diingkari dalam masa pacaran ini,” tutur Nur.

Mereka lantas melakukan hubungan seksual hingga terjadi kehamilan di luar pernikahan. Setelah perempuan hamil, banyak pria yang mengingkari janji mereka untuk bertanggung jawab dan menikahi pacarnya.

Ada juga perempuan yang dipaksa pacarnya untuk menggugurkan kandungan. Di sisi lain, perempuan juga dihadapkan pada situasi nilai-nilai yang sulit bila memutuskan terus membesarkan anak tanpa ada ikatan pernikahan. Belum lagi bila kemampuan ekonomi orangtua masih lemah.

Tekanan-tekanan inilah yang mendorong banyak perempuan dalam posisi gamang. ”Ini juga membuat posisi perempuan menjadi serba sulit,” ujar Nur.

Dia menambahkan, empati kepada perempuan yang membesarkan anak di luar pernikahan bukan berarti melegalkan hubungan seksual di luar pernikahan. Namun, hak hidup anak dan perjuangan orangtua membesarkan anak seharusnya juga dikedepankan.

KDP jadi KDRT

Pada beberapa kasus, korban KDP memaksakan pernikahan dengan pacar mereka itu. Pernikahan ini tidak selamanya berlangsung mulus. Malah, kekerasan yang semula terjadi saat pacaran lantas berlanjut menjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Dia mengatakan, kondisi ini bisa terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, baik kalangan remaja, dewasa, buruh, aparat pemerintah, maupun mereka yang berpendidikan tinggi serta memiliki pekerjaan tetap.

Kasus ini semakin banyak terungkap karena perempuan banyak yang semakin berani mengadukan kasus mereka. Sayangnya, kasus KDP masih sulit diproses secara hukum karena aparat penegak hukum kerap berkesimpulan bahwa hubungan mereka dilandasi rasa senang satu sama lain.

Masyarakat yang sakit

Kasus penelantaran anak, menurut Arist Merdeka Sirait, merupakan gambaran kejiwaan masyarakat telah ”sakit” parah. Bayi atau individu manusia seharusnya dihargai sebagai makhluk hidup. Penelantaran hingga pembunuhan individu ialah bukti bahwa hak hidup manusia telah disepelekan oleh masyarakat.

Arist mengaitkan pembuangan atau pembunuhan bayi dengan penolakan orangtua terhadap kehadiran individu baru. Bisa jadi bayi-bayi itu terjadi akibat kehamilan tidak diinginkan. Misalnya, perempuan hamil dalam usia muda akibat hubungan seksual dengan sesama remaja, hubungan seksual di luar nikah, hamil karena diperkosa atau korban kejahatan seksual.

”Masyarakat harus didorong untuk memahami hak hidup individu,” kata Arist. Pelaku penelantaran bayi patut dihukum berat. Sosialisasi terus-menerus perlu dilakukan. Pemimpin negara memberi contoh cara menjalani kehidupan yang baik untuk masyarakat.

Beberapa kasus kehamilan dilakukan oleh kalangan keluarga. Salah satunya melanda NV (16). Dia hamil setelah berkali-kali dipaksa berhubungan seksual oleh ayahnya, NR (50), sejak September 2011. Kasus ini menyeruak pada pekan lalu setelah istri kedua NR melaporkan ke polisi. NV bingung bagaimana akan melahirkan dan membesarkan bayinya kelak.

Arist menilai kasus tersebut menandakan telah terjadi penurunan moral di masyarakat. ”Tega sekali. Orangtua yang seharusnya menyayangi anak malah menjerumuskan anak,” katanya.

Penurunan moral itu terjadi , antara lain, akibat pengaruh buruk media massa melalui program siaran, pemimpin yang tidak bisa memberi contoh, dan lingkungan masyarakat yang tidak lagi menghargai nilai kearifan. (NDY/BRO/ART)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com