Entah siapa yang memulai, tiba-tiba muncul wacana tentang kemungkinan Angelina Sondakh diberi status istimewa sebagai kolaborator keadilan (
Singkat kata, Angie (Angelina Sondakh) akan diperlakukan sebagai orang yang berhak atas
Di Amerika Serikat, peniup peluit (
Betul praktik kolaborator keadilan membantu pengusutan, penyidikan, dan penyelidikan serta diterapkan secara universal di sejumlah negara. Betul ia mungkin saja bisa menjadi senjata ampuh untuk memberantas korupsi sistemik.
Namun, praktik ini belumlah terlalu lama diterapkan di sini alias masih bersifat eksperimentasi. Salah satu kasus menarik, Agus Condro menjadi peniup peluit dalam proses peradilan cek perjalanan yang melibatkan sejumlah anggota DPR.
Ada risiko status kolaborator bagi Angie akan kontraproduktif. Seperti disinyalir berbagai pihak, ia tak mustahil menjadi ajang transaksional karena Angie adalah fungsionaris Partai Demokrat yang diseret ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) setelah M Nazaruddin.
Dan, sudah sekitar tiga tahun sejak perang ”cicak vs buaya”, pemberantasan korupsi yang melibatkan pejabat/politisi mengalami stagnasi. Telah terbukti KPK berulang kali mengalami berbagai hambatan politis/psikologis menjalani proses panjang untuk memaksa Angie jadi tahanan.
Sampai kini pun KPK dan pengadilan tipikor belum mampu mengungkap hal yang sederhana: siapakah ”ketua besar” dan ”bos besar”? Konfrontasi Angie versus Mindo Rosalina Manulang gagal serta ”apel Malang” dan ”apel Washington” masih tetap misterius.
Entah sudah berapa saksi/tersangka/terpidana yang potensial dijadikan peniup peluit untuk mengungkap skandal-skandal korupsi wisma atlet, Hambalang, dan lain-lain. Namun, semua peluang emas itu tersia-siakan saja.