Zaenudin (42) dan Biah (40) menikah sejak tahun 1998. Namun, buruh tani di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, itu mengaku tak mencatatkan pernikahan mereka karena tak mampu membayar Rp 300.000 untuk mengundang petugas Kantor Urusan Agama. ”Ketika itu, bagi kami, yang penting sah secara agama,” kata Zaenudin di Purwakarta, Jumat (27/4).
Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam Pasal 34 menyebutkan, perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan perundangan wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana. Selain itu, dalam UU No 22/1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk.
Untuk itu, Pemkab Purwakarta dan Pengadilan Negeri Agama Purwakarta, kemarin, menggelar acara pencatatan nikah secara massal di Desa Linggamukti, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta. Sebanyak 149 pasangan suami-istri ikut dalam acara tersebut.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, pemda setempat menganggarkan Rp 1,8 miliar dari APBD Purwakarta 2012 untuk membiayai pencatatan nikah warganya. Pada tahap awal ditargetkan 2.000 pasangan nikah yang belum memiliki surat nikah dapat mengikuti program pencatatan massal tersebut.
”Mereka kebanyakan adalah warga miskin yang keberatan karena harus membayar untuk mencatatkan pernikahannya. Dengan program ini, mereka tidak harus repot ke pengadilan agama dan mengeluarkan modal untuk mencatatkan pernikahannya,” papar Dedi.
Kerja sama pemerintah daerah dengan pengadilan agama itu digelar keliling dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya. Setelah Darangdan, program pencatatan nikah massal akan dilanjutkan ke beberapa kecamatan, antara lain di Kecamatan Wanayasa dan Bojong.
Dedi menambahkan, pencatatan pernikahan adalah sebagian dari pelayanan administrasi kependudukan. Tugas itu seharusnya menjadi kewajiban negara sehingga tidak perlu memungut biaya alias gratis. Karena itu, pihaknya dalam waktu dekat akan melayangkan usulan ke instansi terkait di pusat.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purwakarta Ahmad Sanukri menambahkan, biaya pencatatan nikah di KUA sebenarnya Rp 30.000 per perkara. Di lapangan, biaya mencapai Rp 300.000 atas kebijakan pemohon karena telah mengundang petugas.
Sanukri berharap melalui kerja sama itu status pernikahan warga semakin kuat karena mereka diakui secara hukum formal. ”Permohonan pencatatan nikah sebenarnya meningkat meski belum signifikan dibandingkan seharusnya, yakni dari 9.500 perkara pada 2010 menjadi 10.700 perkara tahun 2011,” ujarnya.