Kasus rawan pangan di desa-desa di sepanjang perbatasan RI-Timor Leste, selama puluhan tahun menjadi ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun sejak tahun 2005, perlahan tapi pasti, kasus itu teratasi berkat pendampingan LSM lokal. Sejumlah desa sepanjang perbatasan sukses membangun kemandirian pangan berkelanjutan.
Sebanyak 90 desa, terdiri dari 48 desa di Timor Tengah Utara (TTU) dan 42 desa di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, berada di tapal batas RI-Timor Leste. Desa-desa ini masuk kategori ”merah”, rawan pangan, dengan berbagai dampak; gizi buruk, busung lapar, gangguan berbagai penyakit, SDM rendah, dan tingginya angka putus sekolah.
Yayasan Mitra Tani Mandiri (MTM), berkantor pusat di TTU, mendapat dukungan dana dari AUSaid, sejak tahun 2003 melakukan pendampingan terhadap desa-desa di perbatasan itu, termasuk juga desa lain yang masuk kategori rawan pangan dan tertinggal. Wilayah kerja MTM mencakupi lima kabupaten, yakni TTU, Belu, Timor Tengah Selatan, Nagekeo, dan Kabupaten Ngada.
Pengamatan di Desa Manusasi, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten TTU, perbatasan RI-Timor Leste, Jumat (23/3), misalnya, 15 kelompok tani yang beranggotakan sekitar 450 orang berkumpul di balai desa. Mereka merencanakan pemetaan desa dengan potensi desa, (nama) lorong desa, papan nama desa, gerbang selamat datang/tinggal. Manusasi, 40 kilometer dari Kefamenanu atau 240 kilometer dari Kupang.
”Di sini ada 249 keluarga, namun yang terlibat dalam kelompok tani 203 kk. Hanya suami dan istri atau tenaga produktif bergabung dalam anggota kelompok tani, anak dan lansia tidak. Mereka terbagi dalam 15 kelompok dengan anggota sampai 30 orang per kelompok,” kata Kepala Desa Manusasi, Philipus Sau. Ke-15 kelompok tani ini tergabung dalam forum Lopo (Lumbung) Tani Mandiri.
Jagung
MTM masuk Manusasi pada tahun 2003. Yayasan itu menawarkan program kemandirian pangan dengan melakukan evaluasi dan pemetaan potensi desa untuk ketersediaan pangan berkelanjutan dengan memanfaatkan satu areal lahan menetap. Sebelumnya, petani selalu berpindah-pindah lahan, membakar hutan yang berakibat pada perusakan hutan, erosi, dan longsor.
”Jelang musim tanam,
Pilihan utama adalah jagung, menyusul singkong, umbi-umbian, pisang, dan sayur. Diternakkan pula sapi, kambing, ayam, dan babi. Meningkatkan keterampilan tenun ikat dan diberi keterampilan membuat jamu tradisional dan kerupuk (gorengan) dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Sebelumnya, satu tandan pisang hanya dijual dengan harga Rp 15.000, setelah menjadi kerupuk (gorengan) menghasilkan uang Rp 100.000. Ny Beatrix Ambone, misalnya, menuturkan, keranjingan membuat kerupuk pisang dan singkong dan dijual di desa itu sampai Kefamenanu.
Pada terassering ditanami jeruk dan pisang. Di sela jeruk dan pisang ada keladi, talas, singkong, dan ubi rambat sebagai persiapan menghadapi musim paceklik (November-Januari).
Dekat ladang, dipelihara ternak sapi, babi, dan kambing di dalam kandang dengan sistem paronisasi. Kotoran ternak dialirkan ke lahan.
Kepala Desa Manusasi, Philipus Sau, mengatakan, sebelum MTM masuk, kasus rawan pangan, gizi buruk, kelaparan, serta kematian ibu dan bayi selalu tinggi dari tahun ke tahun. Bahkan, Manusasi menempati urutan pertama dengan kasus gizi buruk tertinggi di perbatasan RI-Timor Leste, 2001/2002.
Satu tahun lebih kegiatan berjalan, tetapi belum berhasil. Sebagian besar anggota kelompok bubar dan mencari pekerjaan lain, termasuk ikut TKW/TKI, menambang batu mangan, dan mencari pekerjaan di Kefamenanu atau Kota Kupang.
”Tahun ke-2, yakni 2005, mulai tampak keberhasilan. Tiap kepala keluarga sebelumnya hanya bisa mengumpulkan 100 kg jagung pipilan, kini 2.000 kg pipilan. Ternak sapi pun berbiak dari 1-2 ekor menjadi 4 ekor per tahun dan tanaman jeruk pun melimpah. Singkatnya, sebagian besar potensi desa itu memberikan hasil. Anggota kelompok yang telah keluar minta bergabung kembali,” kata Sau.
Koordinator Program Yayasan MTM Yosep Sumu mengatakan, Manusasi menjadi desa contoh dan pusat pembelajaran ketahanan pangan bagi desa-desa di perbatasan RI-Timor Leste.
Lopo Tani Mandiri kini memiliki modal kelompok Rp 182 juta, berupa usaha bersama simpan pinjam (UBSP), dari simpanan wajib Rp 1.000 per bulan dan simpanan pokok Rp 10.000 per tahun. USBP terbentuk tahun 2009. Kini, USBP sedang membangun lumbung pangan desa.