Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Mana Gamelan Sunda Ki Pembayun?

Kompas.com - 05/04/2012, 04:28 WIB

Jika ia seorang anak manusia, Ki Pembayun sangat boleh jadi sudah menjadi seorang laki-laki setengah baya yang perkasa. Usianya sudah menginjak sekitar 42 tahun. Akan tetapi, sepanjang usianya itu, ia hanya lebih kurang setahun diketahui keberadaannya. Ki Pembayun menghilang dari tempat tinggalnya di salah satu ruang Gedung Sate yang selama ini dijadikan Kantor Gubernur Jawa Barat, tanpa diketahui secara pasti waktu kepergiannya. Ia tidak meninggalkan bekas sama sekali.

ragedi dalam kesenian Sunda ini kembali terungkap untuk kesekian kali dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda Ke-2 yang digelar Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung, pertengahan Desember lalu. Tak kurang dari Ajip Rosidi dan beberapa budayawan Sunda lainnya geram. ”Ki Pembayun merupakan karya besar dalam kesenian Sunda,” ujar M Sabar Koesoemadinata. Namun, selama lebih dari empat dasawarsa, tidak terdengar sedikit pun keberadaannya.

”Asa teu asup akal Ki Pembayun bisa ngaleungit kitu wae,” ujar Hasan Wahyu Atmakusumah (77). Penulis artikel dan sajak dalam bahasa Sunda itu tidak habis pikir, bagaimana Ki Pembayun bisa menghilang begitu saja.

Bahkan, hanya untuk melihat fotonya saja, bagaimana wujud gamelan tersebut, tidak ada yang mempunyai. Menurut Sabar, satu-satunya jejak yang tertinggal, gamelan ini ketika dimainkan sempat direkam dan diabadikan dalam bentuk foto oleh Dr Margaret Kartomi, profesor musik dari Universitas Monash, Australia.

Ki Pembayun merupakan perangkat gamelan Sunda yang acap kali dijuluki ”Si Sulung” atau dalam bahasa Sunda dinamakan ”Si Cikal”. Perangkat gamelan ini dinilai sangat istimewa sehingga namanya tetap melegenda.

Penulis Rukmana Hs (alm) yang pernah mencoba menelusuri keberadaannya mengungkapkan kekaguman akan kehebatan gamelan tersebut. ”Di seluruh dunia, hanya gamelan Sunda Ki Pembayun yang bisa mengiringi lagu-lagu dari bangsa mana pun, baik lagu-lagu dalam laras diatonis maupun lagu-lagu dalam laras pelog, salendro, atau laras lagu lainnya,” komentarnya.

Namun, banyak kalangan pesimistis, tipis kemungkinan atau bahkan mustahil perangkat gamelan tersebut bisa ditemukan. Empat dasawarsa bukanlah waktu singkat. Jika masih ada, mustahil bisa disimpan begitu rapat sehingga keberadaannya tidak bisa diketahui.

17 nada

Gamelan Ki Pembayun memiliki keistimewaan karena terdiri atas 17 nada dalam bentuk bilah dan penclon. Susunannya, selain terdiri atas nada pokok, terdapat juga nada sisipan. Karena itu, jumlah waditra (instrumennya) lebih banyak dari gamelan biasa.

Terbuat dari perunggu seberat lebih kurang 1 ton, perangkat instrumennya terdiri dari 36 penclon rincik, 36 penclon bonang, saron 1 dan saron 2, peking, demung, salentem masing-masing 18 nada, 20 penclon kenong, 20 penclon kempul, 2 gong besar, 2 gender masing-masing 52 bilah nada, serta 2 ketuk kempyang. Gendang atau kendang dan kulanter 5 buah, serta 2 rebab, yakni instrumen gesek dua dawai. Untuk instrumen gambang dibuat tiga tahap, masing-masing 24 nada.

Orang di balik penciptaan gamelan tersebut adalah R Mahjar Angga Koesoemadinata. Lahir di Sumedang, Jawa Barat, tahun 1902. Mahjar merupakan tokoh pendidik seni suara Sunda, pengarang lagu, sekaligus etnomusikolog Sunda khusus pelog dan salendro yang hingga kini belum ada gantinya. Pergulatan hidupnya dalam seni karawitan sudah dimulai sejak kanak-kanak.

Ia selalu berada dalam lingkungan kesenian Sunda dengan berguru kepada beberapa juru tembang dan nayaga (awak gamelan). Ia belajar rebab kepada nayaga ulung, Pak Etjen, Pak Basara, Pak Sura, dan Pak Natadiredjo. Keterampilannya memainkan gamelan diperoleh dari Pak Sai, Pak Idi, dan belajar tembang dari Pak Oetje, juru pantun terkenal dari Bandung.

Pengetahuan Mahjar bertambah lengkap lewat pelajaran ilmu musik Barat yang didasarkan pada metode sains dan ilmu fisika ketika menjadi siswa sekolah guru Kweekschool dan kemudian melanjutkan ke Hogere Kweekschool. Sejak itu, ia melakukan pengukuran dan penelitian frekuensi suara-suara gamelan. Pada tahun 1923, ketika masih duduk di bangku sekolah, karyanya yang dinamakan serat kanayagan lahir. Itulah notasi tangga nada Sunda ”da, mi, na, ti, la, da” yang hingga kini menjadi dasar untuk mempelajari seni suara Sunda, seperti halnya ”do, re, mi, dan seterusnya…” dalam seni suara Indonesia.

Semangat luar biasa Mahjar dalam meneliti musik Sunda memperoleh kesempatan lebih luas ketika tahun 1927-1929 bertemu etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst. Saat itu, Kunst sedang melakukan penelitian berbagai seni suara di seluruh kepulauan Nusantara.

Muhamad Sabar Koesoemadinata, salah seorang putranya yang menjadi ahli geologi kuarter, mengungkapkan, lewat pertemuan dan pertukaran pikiran tersebut, Mahjar memahami lebih dalam konsep getaran suara serta cara mengukurnya, dengan instrumen yang menyangkut konversi matematikanya ke skala musik dengan menggunakan nilai logaritma, konsep interval cents dari Ellis (1884) dan Hornbostel (1920), serta music rule dari Reiner.

Ki Pembayun merupakan puncak hasil penelitiannya yang tak kenal lelah setelah melewati kurun waktu sangat panjang selama lebih kurang setengah abad. Berkat dukungan PD Industri Pariwisata Provinsi Jawa Barat, pada tahun 1969 perangkat gamelan itu dibuat di Pancasan, Bogor, sebuah daerah yang selama ini dikenal sebagai lokasi pembuatan gamelan.

Dalam sambutannya, pemimpin perusahaan daerah tersebut, Sjukur Dharma Kesuma, mengemukakan pandangannya terhadap peranan gamelan Ki Pembayun pada masa depan. ”Kehadiran gamelan Ki Pembayun akan menantang kreativitas komponis-komponis kita dan akan membawa perubahan besar dalam musik kita,” katanya.

Meninggalkan kekecewaan

Berbeda dengan pepatah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Mahjar Angga Koesoemadinata yang meninggal di Bandung pada 9 April 1979 justru meninggalkan kekecewaan. Jerih payah hasil penelitiannya berupa perangkat gamelan Ki Pembayun hilang begitu saja sebelum sempat ditampilkan di depan publik yang lebih luas.

Pada tahun 1971, perangkat gamelan itu rencananya menjadi pengiring sendratari Ramayana yang akan dipentaskan di Pandaan, Jawa Timur. Mahjar kecewa berat karena Ki Pembayun tak jadi diikutsertakan hanya karena alasan membutuhkan tempat yang lebih luas dan pemain yang lebih banyak.

Peristiwa itu merupakan puncak kekecewaan dalam hidupnya selama menggeluti bidang kesenian. Ia pernah menduduki jabatan penting di tingkat Jawa Barat sehingga pada 17 Agustus 1969 menerima Piagam Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai ahli dan penyusun teori Karawitan Sunda. Namun, ironisnya, sejak awal ia tidak memilih pendidikan untuk anak-anaknya di bidang kesenian.

”Pikanyerieun hati,” Sabar Kusumadinata menirukan ucapan ayahnya, yang merasa sakit hati karena kurangnya penghargaan masyarakat terhadap seni.

Namun, ia rupanya tidak menilai penghargaan tersebut dalam bentuk jabatan, melainkan dalam wujud apresiasi, baik dari masyarakat maupun para pemegang kekuasaan di daerahnya. Karena itu, dari perkawinannya dengan Saminah, salah seorang lulusan pertama sekolah guru wanita Van Deventer di Salatiga, Jawa Tengah, ia justru menyekolahkan kesepuluh anaknya di bidang ilmu alam. Mereka semuanya berhasil, baik di bidang geologi, vulkanologi, ilmu kimia, maupun lainnya.

Pendidik yang banyak menciptakan lagu Sunda itu, selain menciptakan perangkat gamelan 17 nada Ki Pembayun, sebelumnya menorehkan hasil penelitiannya, antara lain gamelan eksperimental pelog sembilan tangga nada pada tahun 1937 dan gamelan sepuluh tangga nada untuk salendro pada tahun berikutnya. Namun, seperti nasib Ki Pembayun, kedua gamelan tersebut sudah mendahului, hilang pada masa pendudukan Jepang.

Kisah hilangnya perangkat gamelan, yang mencerminkan rendahnya apresiasi masyarakat Sunda terhadap keseniannya, juga dialami perangkat gamelan Kiai Kanjut Mesem di Universitas Padjadjaran. Gamelan ciptaan Mahjar dan Sabar itu menggabungkan tangga nada salendro dan pelog. ”Agar lebih praktis jika dimainkan,” kata Sabar.

Kiai Kanjut Mesem pernah ditampilkan dalam forum internasional di Bandung tahun 1969. Namun, kini keberadaan perangkat gamelan ciptaan paduan antara ayah dan anaknya itu tidak diketahui lagi.

HER SUGANDA Wartawan, Tinggaldi Bandung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com