Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gubernur Ditetapkan atau Dipilih?

Kompas.com - 30/03/2012, 02:01 WIB

Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta masih terkatung-katung. Perdebatan berkutat pada mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur: apakah dipilih atau ditetapkan dari Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Bagaimana duduk perkaranya? Aloysius B Kurniawan, Thomas Pudjo Widijanto, dan Ilham Khoiri

Alun-alun Sewandanan, Pura Pakualaman, Yogyakarta, Minggu (25/3) sore, itu dipenuhi ribuan orang. Mereka berasal dari berbagai kelompok politik, budaya, perangkat birokrasi, pendukung keraton, dan masyarakat. Itulah Apel Siaga Rakyat Yogyakarta Pro-penetapan yang dipimpin Penghageng Wedono Sentono Kadipaten Pakualaman Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Tjondrokusumo.

Tampil pula perwakilan Keraton Yogyakarta sekaligus adik Sultan, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, dan perwakilan Kadipaten Pakualaman, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Indrokusumo.

Sambil menggenggam bambu runcing, peserta apel berikrar untuk mempertahankan eksistensi dan kehormatan Kasultanan Yogyakarta serta Kadipaten Pakualaman sebagai daerah istimewa setingkat provinsi dalam bingkai NKRI.

Apel itu menyuarakan aspirasi tegas: Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Paku Alam (PA) IX ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY.

”Ini wujud kekompakan masyarakat yang hidup damai dan sejahtera di bawah kepemimpinan Sultan dan Paku Alam,” kata Tjondrokusumo.

Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY diperjuangkan sejak tahun 1998. ”Jika tidak segera selesai, September nanti rakyat sendiri akan mengukuhkan Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur,” tegas Ketua Sekretaris Bersama Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra.

Proses panjang

Perjuangan keistimewaan DIY memang panjang. Segera setelah Proklamasi, Sultan HB IX dan PA VIII menerbitkan Amanat 5 September 1945, yang menegaskan kesultanan menjadi bagian dari NKRI. Lewat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, Yogyakarta ditetapkan sebagai daerah istimewa setingkat provinsi dengan kepala daerah dan wakilnya dijabat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII.

Namun, setelah kedua pemimpin itu wafat serta seiring proses demokratisasi pasca-Reformasi 1998, muncul polemik atas penetapan Sultan dan Paku Alam menjadi gubernur dan wakil gubernur. Meski belum ada landasan hukum khusus, masyarakat Yogyakarta lewat DPRD menetapkan Sultan HB X sebagai gubernur DIY periode 1998-2003, kemudian periode 2003-2008.

Menurut catatan Sekretariat DPRD DIY, proses itu berlangsung cukup alot, bahkan sempat dilakukan voting (pemungutan suara) dengan dua calon gubernur pada tahun 1998, yaitu Sultan HB X dan Alfian Darmawan (dicalonkan dari Fraksi Persatuan Pembangunan). Kondisi serupa terjadi pada pemilihan dan penetapan PA IX sebagai wakil gubernur tahun 2001 karena adanya calon lain, yaitu KPH Anglingkusumo.

Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, dalam buku Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya (tahun 2010), menyebutkan, proses politik tahun 1998 dan 2003 itu hasil negosiasi politik, bukan berdasar regulasi. Soalnya, status keistimewaan DIY menurut UU No 3/1950 belum terumuskan rinci. Ini mendorong penyusunan draf akademik RUU Keistimewaan DIY sejak 2001, dan lalu diusung DPRD DIY untuk dibahas menjadi undang-undang ke DPR.

Ternyata, pembahasan RUU Keistimewaan itu tak kunjung kelar. Masa jabatan Sultan HB X sebagai gubernur yang telah genap dua periode pun terpaksa berulang kali diperpanjang, terakhir hingga Oktober 2012.

Anggota Tim Asistensi RUU Keistimewaan, Achiel Suyanto, mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan rancangan itu. ”Penetapan itu penghargaan atas sejarah DIY dalam pembentukan RI. Jauhkan pikiran bahwa demokrasi adalah pemilihan dan jika tidak pemilihan maka tidak demokratis,” ujarnya.

Sultan HB X tidak secara gamblang mengungkapkan keinginannya. Dalam acara Syawalan Akbar September 2011 bahkan dia mengatakan, ”Saya tidak ingin menjadi gubernur selamanya karena tentu saya semakin tua sehingga kemampuan semakin menurun.”

Perlu kejelasan

Meski cenderung diam, sejumlah masyarakat DIY menginginkan agar gubernur dan wakilnya dipilih secara langsung, sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia. Rujukannya adalah UUD 1945 yang menetapkan pemilihan kepala daerah dan wakilnya dilakukan secara demokratis. UU Pemerintahan Daerah No 32/2004 merumuskan mekanisme demokratis itu lewat pemilihan langsung.

Ketua Pergerakan Indonesia Yogyakarta Ulin L Nuha mengungkapkan, penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur itu tak punya dasar hukum kuat, bahkan bertentangan dengan UUD 1945. ”Jika RUUK nanti disahkan dengan pasal penetapan itu, kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.

Menurut dia, gubernur dan wakilnya adalah jabatan publik. Dalam alam demokrasi, posisi itu diisi pemimpin politik yang menjalankan pemerintahan sehari-hari dengan memenuhi unsur pertanggungjawaban, manajerial, transparansi, dan komunikasi. Sementara Sultan itu jabatan kultural hasil warisan turun-temurun dengan kekuasaan tak terbatas, tanpa mekanisme pertanggungjawaban, mengayomi semua kepentingan, dan sumber kearifan budaya.

Pengamat sosiologi politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sudjito, menawarkan jalan tengah, yaitu sistem monarki konstitusional sebagaimana diterapkan di Inggris, Thailand, atau Malaysia. Keraton dijadikan lembaga kultural (bisa disebut sebagai parardhya) di atas eksekutif dan legislatif dan berwenang mengarahkan kebijakan umum daerah, bahkan hak veto untuk hal-hal tertentu. Gubernur-wakil gubernur tetap sebagai lembaga pemerintahan sehari-hari yang dipilih publik sebagaimana mekanisme demokrasi di daerah lain.

”Dengan begitu, keistimewaan dan posisi keraton tetap dihormati, tetapi dimaknai dalam alam demokrasi. Sultan dan Paku Alam menjadi pilar civil society yang terlembagakan dan mengontrol pemerintahan,” katanya.

Polemik ini masih bakal berlanjut karena pembahasan oleh Panja RUU Keistimewaan DIY di Komisi II DPR belum menemukan titik temu. Ketua Panja RUU Keistimewaan DIY Hakam Naja mengakui, ada banyak tarik-menarik kepentingan. ”Kami masih terus mencari rumusan yang disepakati semua pihak,” katanya.

Besok: Menguji Para Pemimpin dari Luar Keraton

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com