Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW: Jangan Jadikan BBM sebagai Mainan Politik

Kompas.com - 28/03/2012, 16:49 WIB
Maria Natalia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch mengharapkan agar kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dijadikan alat politik pencitraan penguasa. Menurut Koordinator Divisi Pengawasan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas, harga BBM bisa saja berubah lagi menjelang Pemilihan Umum 2014 sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.

"Bisa saja dinaikkan dulu, kemudian diturunkan lagi harganya pada saat jelang Pemilu atau tahun 2013 nanti, kemudian diklaim, 'Kami pemerintah dan politisi yang sudah menurunkan BBM berkali-kali.' Pemandangan seperti ini sudah biasa terjadi," ujar Firdaus dalam jumpa pers di kantor ICW, Jakarta, Rabu (28/3/2012).

Dugaan lain ICW terkait kebijakan kenaikan harga BBM ini adalah pemerintah dan DPR RI bersikap tidak transparan kepada publik dalam menjelaskan kalkulasi perhitungan biaya subsidi BBM ini. Firdaus menduga hal itu dilakukan agar nantinya ada penggelembungan dana (mark up) yang dipakai untuk kepentingan bersama.

Firdaus berpendapat, DPR seharusnya mengetahui jelas perhitungan biaya subsidi pemerintah yang diduga terdapat dugaan mark up Rp 30 triliun. Ada perbedaan hasil perhitungan biaya subsidi BBM antara pemerintah dan ICW, yang kata Firdaus harus ditelusuri kembali. ICW juga menghitung dengan metode yang sama dengan pemerintah. Menurut ICW, jika harga BBM jenis premium dan solar tidak naik atau tetap di harga Rp 4.500/liter, maka total beban subsidi BBM dan LPG hanya Rp 148 triliun. Hal ini berbeda dari perhitungan pemerintah beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 178 triliun jika harga BBM tersebut tidak dinaikkan.

Perbedaan hitungan inilah yang menunjukkan indikasi mark up sebesar Rp 30 triliun. Jika harga BBM dinaikkan menjadi Rp 6.000 sekalipun, ICW menghitung total beban subsidi BBM hanya Rp 68 triliun. Adapun hitungan pemerintah sebesar Rp111 triliun. Selisihnya hampir Rp 43 triliun. ICW menilai hal ini bisa menjadi celah penyimpangan.

"Persoalannya tidak transparan. Saya juga tidak tahu apakah ini adalah bagian dari semacam investasi atau ATM politik bagi semua partai. Bisa saja dibajak kepentingan politik, di mana selisih Rp 30 triliun bisa saja dibagi bersama-sama bisnis, pengusaha, dan politik rente. Kepentingan politik kan butuh dana," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

    "Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

    [POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

    Nasional
    Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
     PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    Nasional
    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com