Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bentuk Komite Etik di KPK

Kompas.com - 24/03/2012, 04:40 WIB

Jakarta, Kompas - Kisruh di internal Komisi Pemberantasan Korupsi masih belum akan berakhir dalam waktu dekat. Pegawai di bawah Deputi Penindakan menggalang dukungan agar Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi membentuk komite etik guna memeriksa unsur pimpinan KPK yang diduga melanggar prosedur dalam penetapan tersangka.

Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Said Zainal Abidin mengakui, sebulan yang lalu sejumlah penyidik meminta lembaga Penasihat KPK membentuk komite etik. Permintaan itu diakui dilatarbelakangi dugaan pelanggaran prosedur penanganan perkara oleh Ketua KPK Abraham Samad dalam menentukan anggota DPR, Angelina PP Sondakh, dan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom sebagai tersangka.

”Sebulan lalu ada permintaan seperti itu, tetapi kemudian kami minta agar mereka membicarakannya baik-baik. Kalau memang hanya perbedaan pendapat, tidak perlu sampai harus membentuk komite etik,” tutur Said, di Jakarta, Kamis (22/3).

Said menganggap masalah itu telah selesai. Jika memang masih ada keinginan membentuk komite etik, sebaiknya pengawas internal dan pimpinan KPK dilibatkan. ”Dulu pun ketika KPK membentuk komite etik, pimpinan saat itu yang meminta,” katanya.

Minggu lalu saat menggelar jumpa pers dengan wartawan, semua unsur pimpinan KPK menyatakan tidak ada lagi masalah. Lima unsur pimpinan KPK menyatakan solid dan kompak. Terkait pertemuan dengan penyidik, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ketika itu mengatakan, yang terjadi adalah pembicaraan layaknya orangtua kepada anaknya.

Kisruh internal KPK itu tercium media ketika sejumlah penyidik mempertanyakan penetapan Angelina dan Miranda sebagai tersangka. Penyidik merasa khawatir penetapan terhadap keduanya masih prematur. Seorang pegawai KPK di Deputi Penindakan kepada Kompas mengakui, meski percaya ada keterlibatan Angelina dalam kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang dan Miranda pada kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, KPK tengah mengumpulkan bukti lain yang menguatkan.

Dia mengatakan, standar yang harus dipegang KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka harus ada dua alat bukti menjadi harga mati. ”Namun, saat dua alat bukti itu masih belum meyakinkan, kami harus mencari alat bukti lain. Kalau bisa sampai lima alat bukti. Kami tidak punya kewenangan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Jadi, kalau maju perang, kami harus betul-betul siap,” ujarnya.

Konflik antara unsur pimpinan KPK dan penyidik terjadi salah satunya disebabkan penarikan penyidik KPK oleh Mabes Polri. Penarikan itu atas kemauan Abraham. Sebelumnya, waktu menjadi ketua KPK, M Busyro Muqoddas mengembalikan seorang penyidik, Komisaris R Brotoseno ke Mabes Polri, karena diduga memiliki hubungan khusus dengan Angelina Sondakh.

Abraham membantah berada di balik pengembalian penyidik ke Mabes Polri. ”Kewenangan penarikan personel ada mekanismenya. Setiap institusi punya independensi. Apa kehebatan Abraham untuk bisa menelepon Kepala Polri,” katanya. (bil)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com