Jakarta, Kompas -
”Pimpinan DPR meminta Komisi III menyiapkan draf revisi UU KPK. Dalam tiga atau empat bulan ke depan, Komisi III akan mengirimkan draf itu ke Badan Legislasi DPR,” kata Ketua Komisi III DPR Benny K Harman, Selasa (6/3), di Jakarta. Setelah dilakukan harmonisasi di Baleg, draf revisi UU KPK akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk kemudian dibahas kembali antara DPR dan pemerintah.
Untuk mengetahui lebih jauh peran komisi independen seperti KPK dalam pemberantasan korupsi, lanjut Benny, sejumlah anggota Komisi III DPR berangkat ke Perancis pada Sabtu (3/3). Rombongan dipimpin Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin.
Sebagian anggota Komisi III juga akan ke Australia untuk keperluan yang sama. Rombongan dipimpin Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional Tjatur Sapto Edy. ”Sesuai ketentuan tata cara pembentukan UU, kunjungan kerja dilakukan saat DPR menyiapkan RUU,” ujar Benny.
Melalui kunjungan kerja itu, harap Benny, bisa diperoleh masukan seperti apa tugas komisi independen. Bisakah KPK mengumumkan tersangka atau saksi ke media, dan apakah berita acara pemeriksaan dapat diumumkan? Bagaimana perlindungan terhadap hak-hak keluarga tersangka juga jadi harapan DPR.
Komisi III ingin mengadopsi standar internasional dalam pemberantasan korupsi. Dalam hukum internasional, korupsi disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Adapun Indonesia menamakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. ”Kita mendefinisikan korupsi secara kejam,” kata Benny.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin
”Revisi UU KPK itu akan menjadi baik jika menyelesaikan beberapa persoalan di KPK, seperti apakah lembaga ad hoc atau permanen? Juga apakah KPK berwenang memiliki penyidik sendiri atau tetap harus meminjam dari kepolisian dan kejaksaan? Bagaimana dengan penguatan posisi KPK di daerah serta perlindungan terhadap komisioner?” kata Zainal.
Revisi UU KPK akan buruk jika memunculkan pembatasan tidak perlu bagi KPK dalam mengusut kasus korupsi.