Jakarta, Kompas
Sebelumnya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak hanya menuntut Syarifuddin dengan lima dakwaan alternatif terkait penerimaan suap sebagai pegawai negeri dan penyelenggara negara. Jaksa meminta kepada majelis hakim agar Syarifuddin membuktikan kepemilikan sejumlah mata uang asing, yakni 116.128 dollar AS, 245.240 dollar Singapura, 20.000 yen Jepang, 12.600 riel Kamboja, dan 5.900 baht Thailand, yang ditemukan penyidik KPK saat menggeledah rumahnya.
Menurut jaksa, kepemilikan uang asing dalam jumlah besar oleh pegawai negeri seperti Syarifuddin dinilai tidak wajar sehingga harus dirampas untuk negara. Namun, Syarifuddin wajib diberi kesempatan membuktikan perolehan uang asing itu secara sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila tidak dapat dibuktikan, dianggap diperoleh melalui korupsi.
Pengacara Syarifuddin, Junimart Girsang, mengatakan, kliennya sangat berkeberatan dengan dalil penuntut umum tentang pembuktian terbalik.
”Penuntut umum telah keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 38 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Junimart.
Ketentuan Pasal 38 Ayat 1 UU Tipikor itu menyatakan, setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Tipikor, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Junimart mengatakan, penjelasan Pasal 38 B mensyaratkan adanya surat dakwaan dari penuntut umum untuk pembuktian terbalik harta terdakwa.
Syarifuddin yang juga membacakan sendiri pleidoinya mengatakan, penerapan Pasal 38 B dalam praktiknya masih memerlukan pendalaman dan pengembangan melalui pengkajian ilmiah. Syarifuddin dituntut pidana penjara 20 tahun dan denda Rp 500 juta.