Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Brankas Grup Permai

Kompas.com - 04/02/2012, 03:06 WIB

Saat menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan terdakwa Nazaruddin, Jumat (27/1), asisten personal Neneng Sri Wahyuni, Oktarina Furi, menuturkan, ada empat brankas di kantor Grup Permai. Tiga brankas di antaranya disimpan di ruangan Neneng. Satu brankas di simpan di ruangan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis.

Grup Permai adalah holding milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Neneng adalah istri Nazaruddin yang hingga kini buron setelah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Cerita soal jumlah brankas di Grup Permai dan kegunaan lemari besi penyimpan uang tersebut menguak cerita soal kepiawaian Nazaruddin mendapatkan berbagai proyek pemerintah yang sejak perencanaannya dibahas pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Cerita tentang brankas Grup Permai ini mengonfirmasi adanya mafia anggaran di DPR. Mereka mulai mengorupsi proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak proyek itu masih rencana.

Oktarina menceritakan, dua di antara tiga brankas di ruangan Neneng disebut brankas x. Istilah brankas x ini mengacu pada kata eksternal. ”Brankas itu ada empat. Yang di ruangan Bu Yuli satu untuk operasional kantor, yang di ruangan Bu Neneng ada tiga, di pinggir kiri dan kanan untuk eksternal, yang tengah punya (pribadi) Bu Neneng,” ujar Oktarina.

Menurut Oktarina, brankas eksternal digunakan untuk menyimpan setoran fee dari berbagai perusahaan yang berhasil mengerjakan tender karena bantuan Grup Permai. Bantuan ini ada dua jenisnya. Pertama, bantuan itu bisa berupa dimenangkan tendernya oleh Grup Permai dan anak perusahaannya. Kedua, bisa juga bantuan ini berupa Grup Permai dan anak perusahaannya memenangkan tender proyek pemerintah, tetapi mereka tak mengerjakannya dan dikerjakan oleh perusahaan lain. ”Grup Permai hanya dapat bagian saja,” kata Oktarina.

Untuk bantuan jenis pertama, proyek wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, adalah contohnya. Proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga tersebut dimenangkan PT Duta Graha Indah (PT DGI). Untuk mendapatkan proyek wisma atlet, PT DGI tak memperolehnya secara fair. Setidaknya jika mengacu pada vonis bersalah terhadap Direktur Marketing PT Anak Negri (salah satu anak perusahaan Grup Permai) Mindo Rosalina Manulang dan Manajer Marketing PT DGI Mohammad El Idris di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Fee yang diberikan ke Grup Permai dari proyek yang dikerjakan perusahaan lain jumlahnya bervariasi. Untuk wisma atlet saja, menurut Yulianis, Nazaruddin sempat memerintahkannya agar menagih sebesar 22 persen dari nilai proyek. Belakangan PT DGI hanya menyanggupi membayar fee 13 persen. ”Yul untuk DGI 21 atau 22 persen. Selanjutnya hal tersebut saya catat. Karena proyek-proyek (yang dikerjakan PT DGI) sebelumnya nilainya 21-22 persen,” ujar Yulianis menirukan perintah Nazaruddin saat diminta menagih fee ke PT DGI.

Dari cerita Yulianis, pada tahun 2011 saja setidaknya PT DGI mengerjakan 10 proyek pemerintah atas ”bantuan” Grup Permai. ”Itu belum (proyek) yang tahun 2009,” kata Yulianis.

PT DGI bukan klien satu-satunya Grup Permai. Menurut Yulianis, ada istilah ”menggiring proyek” untuk mendapatkan proyek pemerintah lewat berbagai cara. Tugas menggiring proyek ini dilakukan oleh tenaga marketing anak perusahaan Grup Permai seperti yang dilakukan Mindo. Cara yang paling umum adalah memberi sejumlah uang kepada anggota DPR, biasanya mereka yang duduk di Badan Anggaran, karena memiliki kewenangan membahas anggaran proyek-proyek pemerintah. Di persidangan, Yulianis menyebut politikus Partai Demokrat, Angelina Sondakh, dan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, I Wayan Koster, ikut menerima uang untuk menggiring proyek. Keduanya anggota Banggar DPR. Berikutnya, uang juga diserahkan kepada pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur tender.

Mindo ditangkap saat memberikan uang kepada Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. Sebelum ditangkap, Mindo beberapa kali berkomunikasi melalui Blackberry Messenger dengan Angelina soal permintaan uang yang disimbolkan keduanya dengan ”apel malang” untuk uang rupiah dan ”apel washington” untuk uang dollar Amerika Serikat.

Tak segan Nazaruddin meminta uang yang telah diserahkan Grup Permai untuk menggiring proyek dimintanya kembali jika nilai proyek yang cair tak sebanding dengan uang yang telah dikeluarkan. ”Saya tahunya waktu Pak Nazar marah sama Bu Rosa (Mindo) karena (proyek) Kemenpora itu turunnya hanya Rp 200 miliar, sedangkan kami sudah mengeluarkan hampir 16 miliar,” kata Yulianis. Nazaruddin, menurut Yulianis, minta agar uang Rp 16 miliar dikembalikan. Uang itu dikembalikan lagi ke Grup Permai Rp 10 miliar.

Operasi penggiringan proyek oleh Grup Permai dan anak perusahaannya sangat sistematis dan bisa jadi menjadi praktik yang jamak terjadi di Indonesia. Grup Permai memiliki puluhan anak perusahaan. Untuk menyamarkan identitas perusahaan ini, komisaris dan direksi perusahaan dicomot begitu saja dari karyawan. Bisa saja seorang karyawan dalam akta tercatat menjadi direksi atau komisaris di satu perusahaan. Padahal, mereka sama sekali tak punya saham. Yulianis, misalnya, dia tercatat menjadi direktur utama perusahaan money changer anak usaha Grup Permai. Trik ini untuk menghindari tanggung jawab kepemilikan atas Grup Permai dan anak usahanya. (KHAERUDIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com