OLEH MOHAMAD FINAL DAENG
Kiprah Anwar bermula dari situasi dan kondisi desanya saat itu. Kesulitan air kala itu merupakan hal yang luar biasa bagi daerah melimpah air tempat Anwar tinggal di Desa Amoito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Amoito terletak 24 kilometer arah barat daya pusat kota Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara.
Sejauh ingatan Anwar, selama berpuluh tahun hidup di desanya, baru pada tahun 2006 itulah air sulit diperoleh warga desa. Sekalipun ada, debitnya kecil dan sudah kotor bercampur lumpur. Dua dari tiga sungai yang mengalir di sekitar desanya, yakni Sungai Wanggu dan Sungai Amoito, juga mengering.
Dampak kekeringan itu tidak hanya di Desa Amoito, tetapi juga empat desa tetangga, yakni Amoito Siama, Jati Bali, Sindang Kasih, dan Ambaipua. ”Lebih dari 10.000 jiwa terkena dampak kesulitan air itu,” ujar Anwar saat ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu.
Warga desa tidak hanya kesulitan air untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, di Desa Jati Bali dan Sindang Kasih, yang sebagian besar merupakan wilayah persawahan, petani mengalami gagal panen. Kondisi yang memprihatinkan itu menyentak hati dan pikiran pria yang sehari-hari berkebun merica dan durian itu.
Anwar tidak lantas berdiam diri. Dia yang resah tergerak untuk menyelidiki akar permasalahannya. Anwar akhirnya mengetahui, krisis air yang menimpa wilayahnya disebabkan kerusakan hutan yang terjadi di sekitar desanya yang sekaligus juga menjadi hulu tiga sungai, yakni Wanggu, Konda, dan Amoito.
Ketiga sungai tersebut merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu yang bermuara di Teluk Kendari. DAS Wanggu merupakan sistem sungai terbesar dari 32 sungai yang bermuara di teluk tersebut.
Oleh karena itu, selain untuk Konawe Selatan, DAS Wanggu juga menjadi sumber air yang penting bagi kota Kendari. Peran DAS itu vital, ibarat urat nadi yang mengalirkan darah segar bagi tubuh.