JAKARTA, KOMPAS.com - Jalur selatan Pulau Jawa yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Barat terancam putus, Rabu (4/1/2012), akibat longsor di Desa Tayem Timur, Kecamatan Karangpucung, Cilacap, Jawa Tengah, sepanjang 23 meter, Senin lalu.
Longsornya jalan di Kilometer (Km) 58+300 Karangpucung itu menyisakan ancaman pergerakan tanah yang dapat menyebabkan badan jalan tergerus dan ambles seluruhnya. Selain longsor, hujan deras yang turun sejak Rabu dini hari juga menyebabkan sejumlah kawasan di Samarinda, Kalimantan Timur, dilanda banjir.
Kemacetan di jalanan di kota itu pun tak terhindarkan. Selokan air atau parit-parit kecil di tepi jalan tak lagi mampu menampung air sehingga meluap. Sampah dalam bungkus plastik terlihat banyak mengapung di jalanan.
”Rabu subuh, pembatas jalan malah tidak kelihatan. Air pun masuk sampai parkiran motor di kantor. Siang ini pembatas kelihatan karena air surut sekitar 20 sentimeter,” ujar Sudarsono, warga Karang Paci, Samarinda, yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jalan Antasari.
Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Kaltim Irianto Lambrie mengatakan, banjir Samarinda karena banyak hal, salah satunya belum tersedianya prasarana pengendali banjir yang memadai. Drainase tidak dibangun secara terencana dan kurang dipelihara oleh Pemkot Samarinda.
Di lintas selatan Jawa, berdasarkan pantauan Kompas, Rabu, hampir separuh badan jalan dengan lebar 8 meter dan diimpit jurang terjal di dua sisinya ambles sedalam 5 meter.
Akibatnya, lalu lintas jalan nasional tersendat karena pemberlakuan sistem buka-tutup. Parahnya lagi, belum ada perbaikan apa pun dari instansi terkait. Kendaraan dari arah Kabupaten Banjar, Jabar, ataupun dari arah Banyumas, Jateng, harus antre satu per satu. Bahkan, antrean terkadang bisa mencapai 1 kilometer. Sejumlah perintang dan pembatas dari tong juga dipasang di lokasi untuk menambah kewaspadaan pengemudi.
Pengamat jalan ranting Karangpucung-Cilopadang dari Balai Pelaksana Teknis (BPT) Bina Marga Jateng Wilayah Cilacap, Parjo, mengakui, jika tidak segera ditangani, separuh badan jalan yang masih tersisa terancam tergerus longsor. Sebab, struktur penahan lapisan aspal sudah rawan.
”Ditambah lagi hujan deras yang mengguyur lapisan aspal yang sudah mengelupas dapat memperparah potensi pergerakan tanah,” ujarnya. Jalur itu sebenarnya baru diperbaiki setelah sebelumnya ambles sekitar 10 sentimeter. Namun, karena terus diguyur hujan lebat, jalan kemudian longsor sepanjang 23 meter dan lebar 2,6 meter.
Parjo mengungkapkan, jalan yang longsor tersebut merupakan jalan nasional tipe B dengan maksimal tonase 15 ton. ”Kenyataannya, setiap hari selalu lewat kendaraan dengan beban lebih dari 60 ton. Kebanyakan mengangkut pasir besi dan semen. Ini yang membuat jalan yang strukturnya rawan ini cepat rusak,” katanya.
Kepala BPT Bina Marga Jateng Wilayah Cilacap Edy Gunawan mengatakan, karena kondisi jalan cukup parah, pihaknya telah melaporkan hal itu kepada Pemprov Jateng. Dia berharap segera ada upaya antisipasi longsor di jalan itu. Sebab, jalur ini merupakan jalan utama penghubung Yogyakarta-Bandung.
”Jalan itu kondisinya memang labil. Apalagi diimpit jurang sedalam 14 meter yang struktur tanahnya tidak kuat. Sebelumnya, di titik yang sama, terjadi beberapa kali longsor,” ujar Edy. Kemungkinan, pihaknya akan memasang tiang pancang guna memperkuat tebing.
Asep Rahmat (32), pengemudi travel jurusan Bandung-Purwokerto, berharap perbaikan segera dilakukan. ”Ini kan satu-satunya jalan dari timur menuju Bandung, jadi sangat vital. Nyatanya, sudah longsor dua hari belum juga diperbaiki,” keluhnya.
Amblesnya ruas jalan ini tak pelak mengancam kelancaran lalu lintas dari Jateng bagian selatan menuju Jakarta. Sebab, kondisi jalur tengah yang menghubungkan Purwokerto-Tegal belum pulih pasca-perbaikan jalan longsor di Desa Ciregol, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Saat ini, kendaraan yang melalui jalur tengah dibatasi hanya kendaraan pribadi dan bus penumpang antarkota. Kendaraan truk dengan tonase berat masih dialihkan ke jalur selatan.
Pakar hidrologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Chay Asdak, menyatakan, pemerintah harus memprioritaskan berbagai langkah adaptasi masyarakat menghadapi ancaman bencana alam di sejumlah daerah. Tujuannya, meminimalkan jumlah korban dan kerusakan akibat bencana alam yang diperkirakan akan marak terjadi tahun ini.
”Usaha perbaikan lingkungan di sejumlah daerah belum berhasil membaik. Padahal, banyak bencana alam akibat perubahan iklim sangat rentan terjadi di Indonesia pada tahun ini. Pengalaman banjir besar di Filipina dan Thailand harus menjadi pelajaran,” katanya.
Salah satu langkah adaptasi yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan kinerja Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam memberikan laporan perkembangan cuaca dan perubahan iklim. Caranya dengan lebih aktif turun ke daerah memberikan informasi dan mitigasi bencana alam akibat perubahan iklim.
”Badan penanggulangan bencana daerah juga diharapkan lebih rajin memberikan pemahaman kepada masyarakat di daerah rawan bencana. Dengan demikian, masyarakat lebih siap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana alam,” katanya.
Guru Besar Lingkungan Universitas Padjadjaran Erry Megantara mengatakan, hanya menyalahkan fenomena perubahan iklim merupakan langkah tidak bijaksana. Pemerintah seharusnya memikirkan penyebab lain, terutama tata guna lahan di daerah rawan bencana.