Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Sawit hingga "Warisan"

Kompas.com - 24/12/2011, 02:43 WIB

Ahmad Rinto Gunari, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumut, adalah salah satu orang yang kecipratan rezeki dari kelapa sawit. ”Saya dulu distributor pupuk Pusri di Labuhan Batu,” tutur Rinto di Medan, Senin (19/12).

Ia ikut-ikutan mengembangkan sawit tahun 1978 dengan membuka lahan seluas 5 hektar. Selama lima belas tahun ia mengembangkan kebun di sejumlah tempat di Labuhan Batu, hingga total saat ini kebunnya mencapai 40 hektar.

Penghasilan per bulannya rata-rata Rp 50 juta dengan pengeluaran keluarga bulanan di atas Rp 20 juta.

Kelapa sawit yang membesarkan sembilan anaknya dan menyekolahkan mereka hingga perguruan tinggi. Enam anaknya sudah berkeluarga, tiga orang lagi masih tinggal di rumah. Ia juga membangun dua rumah di Labuhan Batu dan di Medan.

Berbeda dengan Rinto, Asmar Arsyad (67), Sekjen Apkasindo hanya memiliki 1 hektar kebun kelapa sawit di Deli Serdang. Ia mengembangkannya sejak 15 tahun lalu di sela tugasnya sebagai PNS.

Pensiunan peneliti senior di Pusat Penelitian Karet Sei Putih itu mengatakan, sawit sangat membantu perekonomian keluarga. ”Sekitar 30 persen perekonomian keluarga ditopang dari kelapa sawit,” tutur Asmar. Selebihnya dari gajinya sebagai PNS dan dosen di universitas swasta di Medan. Tiga dari empat anaknya menyelesaikan S-1 juga dengan bantuan kelapa sawit.

Cerita manis dari kelapa sawit juga dialami Aziz Purba (50), yang tinggal di Desa Banjaran Godang, Kecamatan Kotarih, Kebupaten Serdang Bedagai.

Awalnya, dia bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan kelapa sawit tahun 1987-1997. Pada tahun 1998, dia membeli lahan 2 hektar seharga Rp 10 juta per hektar dan menanaminya bibit kelapa sawit. Empat tahun kemudian, dia memetik hasilnya dengan memanen 3 sampai 4 ton per bulan.

Hasil itu dia gunakan untuk investasi dengan membeli lahan. Kini, lahan Aziz mencapai 12 hektar dengan hasil 20 sampai 24 ton per bulan. Dia pun mengembangkan usahanya dengan menjadi tengkulak tandan buah segar.

Dari usahanya itu, Aziz kini memiliki dua truk, rumah, dan toko kelontong. Dia juga mempekerjakan 11 pegawai untuk mengurusi kebun dan membantunya mengelola tandan buah segar dari petani sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit.

Dia kini menyiapkan lahan seluas 260 meter persegi untuk membangun gudang penyimpan kelapa sawit. Dengan gudang itu, Aziz memperkirakan akan memperoleh hasil tambahan Rp 25 juta-Rp 50 juta per bulan. ”Modalnya cukup besar, Rp 700 juta,” kata Aziz.

Kisah berikutnya berasal dari Kalimantan Timur. Tawaran bekerja di Balikpapan, Kalimantan Timur, dengan gaji yang lumayan dan tantangan yang dianggap menarik, membuat Nila Perwitasari (33) pindah dari Jakarta tahun 2006. Posisinya sekarang sebagai asisten manajer sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan di Balikpapan. Nila sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan elektronik di Jakarta.

Bekerja empat tahun di kota ini, Nila sudah bisa membeli sebuah rumah di Balikpapan Regency, salah satu kompleks perumahan yang cukup elite. Walau tipe rumahnya kecil, tipe 36 di atas tanah 120 meter persegi, harganya mencapai Rp 300 juta lebih. Ia memilih membeli di sana dengan pertimbangan kenyamanan, keamanan, dan cukup dekat dengan kantor.

”Namun saya membelinya secara kredit, kok, dengan jangka waktu 15 tahun. Per bulannya, saya mencicil sekitar Rp 4 juta,” ujar ibu dua anak ini dengan nada merendah.

Nila mengaku dirinya termasuk tipe hemat, sebenarnya. Ia membatasi pengeluaran per bulan sehingga bisa menyisihkan cukup uang untuk menabung. Acara jalan-jalan di mal, atau jajan di luar, hanya seperlunya. Selain karena sudah ada tanggungan anak dan memikirkan kebutuhan, ia juga berencana mengganti mobilnya.

Eddy Rumpoko (51), Wali Kota Batu, merupakan contoh anak pejabat yang sukses. Dia anak sulung Wali Kota Malang yang kemudian menjadi Wakil Gubernur Irja Brigjen TNI Soegiyono. Sebelum menjadi Wali Kota Batu, dia merupakan pengusaha properti, sarana produksi pertanian yang sukses.

Namun, Eddy baru merintis usaha setelah ayahnya pensiun. Semasa ayahnya menjabat, dia lebih banyak berkiprah di kegiatan hobi dan hiburan, seperti otomotif, musik, dan aktif di tinju dengan mengelola Javanoea Boxing Camp Malang.

Dengan aktif di sejumlah organisasi massa seperti FKPPI dan Pemuda Pancasila, membuat pergaulannya luas. Dari jejaring organisasi itulah dia mulai mengembangkan bisnis properti, sarana produksi pertanian, dan sebagainya. Dia mengalami jungkir balik dalam berwirausaha. Akhirnya, dia menjadi Wali Kota Batu pada tahun 2007.

Dia mengaku memang anak Soegiyono, tetapi sukses bisnisnya tidak ada hubungan dengan jabatan ayahnya karena dia baru mulai setelah ayahnya pensiun. Dia tidak berbisnis di Papua di mana ayahnya pernah berkuasa, tetapi justru di Kalimantan Timur. Kalau dia bisnis di Malang karena di kota ini dia tumbuh.

Saiful Ilah, Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan contoh kelas menengah karena berhasil meneruskan usaha mertuanya, H Anwar. Saiful dipercaya meneruskan usaha tambak bandeng dan udang milik mertuanya. Berkat kerja kerasnya, usaha tambak udang Saiful semakin luas. Diperkirakan, usaha tambaknya mencapai ribuan hektar di Sidoarjo.

Iwan Kurniawan merupakan contoh kelas menengah yang merangkak dari bawah. Semula dia bekerja sebagai sales mobil. Bersama istrinya, mereka banting setir ke pelbagai usaha. Kini, mereka menekuni bisnis properti dan konstruksi dan menjadi pengusaha sukses terkemuka di Kota Malang.

Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia melahirkan cerita-cerita lucu. Kelas menengah baru ini masih perlu beradaptasi dengan berbagai kemajuan teknologi. Hal ini kadang membuat mereka gagap.

Sutarno, pengusaha mebel asal Sragen, harus menginap di hotel berbintang di Jakarta. Ketika resepsionis hotel menyodorkan kartu chip sebagai kunci kamar, ia pun bingung. ”Mbak kunci kamar saya mana?” ujarnya. Setelah diberi penjelasan, ia pun bergegas menuju kamar. Saat di depan pintu, Sutarno pun bingung bagaimana cara menggunakan kartu chip tersebut. Beruntung ada penghuni kamar lain yang menolongnya.

Cerita lain datang dari Sunarni. Ketika itu ia tengah berada di pintu masuk keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta. Ia hendak terbang ke Pontianak untuk urusan bisnis. Karena merasa bingung, ia pun celingak-celinguk ke kanan-kiri. Kepada Kompas, ia yang pengusaha mengatakan bahwa ia mau naik pesawat Garuda.

”Setelah masuk saya ngapain, pesawatnya di mana,” ujarnya. (ANO/ENY/WSI/PRA/MHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com