Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesawat N-219 Jadi Andalan

Kompas.com - 02/11/2011, 02:37 WIB

YUNI IKAWATI dan DIDIT PUTRA

Sudah 13 tahun ini, prototipe pesawat terbang N-250 ”mendekam” di hanggar milik PT Dirgantara Indonesia. Masa depan produksi anak bangsa ini masih saja gelap. Meski demikian, kemampuan membuat pesawat turboprop menjadi modal bagi para ahli di PT DI untuk bangkit menggarap N-219 dan C-295.

Sejak pengembangan prototipe pesawat N-250 dibekukan pasca-perjanjian IMF tahun 1998, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) mengalami antiklimaks. Pesawat komuter jenis komersial ini pada 10 Agustus 1995 telah sukses menjalani terbang perdana dan melanglang buana hingga ke Eropa untuk dipamerkan pada pameran kedirgantaraan.

Untuk merancang bangun pesawat berpenumpang minimal 50 orang, PT DI telah merekrut tenaga kerja total sekitar 16.000 orang. Ketika itu, keberhasilan pembuatan pesawat N-250 yang bermesin turboprop bahkan dijadikan titik tolak bagi PT DI untuk mengarah pada pembuatan pesawat terbang jet N-2130 yang mampu mengangkut 130 orang.

Kini, PT DI hanya mempekerjakan 4.500 orang. Dengan kapasitas itu, industri pesawat ini hanya memenuhi pesanan pembuatan pesawat CN-235.

Berbeda dengan pesawat CN-235 yang dibuat bersama perusahaan Cassa, Spanyol, untuk misi militer dan kargo. Pesawat N-250 hanya untuk tujuan komersial. Salah satu cirinya adalah tidak adanya pintu belakang atau ramp-door di bawah ekor N-250 yang dibuat sendiri oleh PT DI. Kelebihan lain dari N-250 adalah memiliki sistem fly by wire, yaitu sistem kemudi elektronik yang bekerja secara otomatis.

N-250 sebagai pesawat penumpang nantinya akan memenuhi kebutuhan transportasi udara di wilayah Indonesia.

Pesawat komuter ini dirancang untuk melakukan terbang jelajah antarpulau yang jaraknya relatif dekat dan memiliki landas pacu yang pendek. ”Sekitar tahun 1990-an belum ada industri pesawat di dunia yang membuat pesawat sejenis,” papar Dita Artdonni Jafri, Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI.

Ketika larangan produksi N-250 ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF), jelas Direktur Aircraft Services PT DI Budiwuraskito, prototipe N-250 telah menempuh sekitar 800 jam terbang, masih setengahnya lagi diperlukan untuk mendapat sertifikat dari FAA. Pesawat yang dapat menjelajah dengan kecepatan maksimal 610 kilometer per jam dan dapat mengangkut 24 ton itu, hingga mendapat sertifikat masih butuh dana sekitar Rp 3 triliun.

Pelarangan itu terkait dengan kepentingan bisnis Amerika Serikat secara global. ”Kini, setelah 15 tahun berjalan, kebutuhan transportasi udara di Indonesia diisi oleh ATR 72 dan MA-60 buatan China,” urai Adi Sadewo Salatun, Komisaris PT DI.

Pesawat N-219

Tertutupnya peluang memproduksi pesawat komuter berukuran sedang N-250 dan bermesin jet N-2130 mendorong PT DI membuat pesawat yang berukuran lebih kecil, yaitu N-219 yang hanya dapat mengangkut hingga 24 penumpang. Menurut Budiwuraskito, N-219 untuk menggantikan pesawat Twin Otter yang tidak lagi diproduksi dan telah habis masa pakai. Saat ini, ada sekitar 40 pesawat Twin Otter yang harus diganti. Adapun untuk melayani penerbangan perintis di Indonesia diperlukan sekitar 900 pesawat jenis ini.

Pesawat N-129 dapat mendarat di medan yang sulit yang jarak landasannya sekitar 500 meter. Karena relatif ringan, pesawat ini dapat mendarat di lapangan rumput. ”Karena tidak ada penggunaan sistem hidrolik, N-219 tidak memerlukan perawatan berarti di daerah yang sarananya terbatas,” urai Dita.

Pesawat CN-295

Dukungan pemerintah bagi PT DI antara lain dengan alokasi dana 325 juta dollar AS melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), termasuk memesan sembilan pesawat CN-295.

Menurut Andi Alisyahbana, Direktur Aerostructure PT DI, CN-295 merupakan penyempurnaan dari seri sebelumnya, CN-235, dengan badan yang lebih panjang 3 meter. Fitur utama yang diunggulkan adalah pesawat yang multifungsi, yakni dapat mengangkut penumpang atau kargo. Pesawat ini juga dapat terbang landas ataupun mendarat pada lintasan sekurangnya 670 meter dan tidak beraspal sehingga dianggap sesuai untuk daerah pelosok di Indonesia.

Direktur Utama PT DI Budi Santoso mengungkapkan, CN-295 merupakan produk yang dikerjasamakan dengan Airbus Military. Dari sembilan unit pesawat yang dipesan Kemhan, tiga unit pertama akan dirakit di Indonesia. Komposisi komponen lokal pada pesawat ini dapat mencapai 50 persen.

Direktur Aircraft Services PT DI Budiwuraskito menuturkan bahwa komponen lokal yang dipasang dalam CN-295 adalah bagian sayap dan buntut, sementara komponen seperti avionik ataupun mesin sampai sekarang masih didatangkan dari luar negeri.

Lalu bagaimana dengan nasib N-250? Menurut Andi Alisyahbana, untuk melanjutkan N-250 bukannya tak mungkin apabila ada komitmen pemerintah untuk menyelamatkan PT DI dan kepentingan bangsa ini.

Ada rencana N-250 akan diserahkan kepada Kementerian Pertahanan untuk dijadikan monumen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com