Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dipertanyakan Fokus Revisi UU KPK di DPR

Kompas.com - 08/10/2011, 12:31 WIB
Maria Natalia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko mengungkapkan, niat parlemen untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dipertanyakan kembali. Terutama mengenai latar belakang di balik rencana itu. Menurutnya, jangan sampai keinginan revisi ada karena DPR melakukan "balas dendam" atas penangkapan KPK terhadap sejumlah anggota DPR yang melakukan korupsi. Hal tersebut justru menjadi indikasi pelemahan kekuatan KPK.

"Waktu itu wacana revisi Undang-Undang KPK ini muncul setelah KPK mengusut kasus kasus cek pelawat. Saya khawatir, semangat revisi UU ini berbeda. Bukan untuk memperkuat KPK tapi justru melemahkannya," ujar Danang di diskusi 'KPK, Sesuatu Banget' di Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu (08/10/2011).

Hal senada diungkapkan salah satu mantan perumus Rancangan Undang-Undang KPK, Firman J Daeli. Menurutnya, kalau DPR merevisi aturan tersebut, harus disampaikan pada publik apa saja yang akan direvisi.

"Revisi memang bagus. Tapi tujuan revisi ini kan seperti bola liar tidak jelas. Jangan-jangan jadi pelemahan. Harus tentukan mana yang harus direvisi. Harus jelas ada batasan-batasannya," kata Firman.

Seperti diberitakan sebelumnya, sejak pertengahan tahun wacana revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK terus bergulir di DPR RI. Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso menampik bahwa revisi undang-undang ini untuk melemahkan lembaga antikorupsi itu dan balas dendam. Ide ini sudah cukup lama ditentang oleh LSM-LSM antikorupsi, salah satunya ICW.

Bahkan ICW menyebut dalam 10 poin revisi DPR terdapat 9 poin yang membahayakan yaitu :

1. Menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999.

2. Menghilangnya Pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat koruptor.

3. Hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal.

4. Penurunan ancaman hukuman minimal menjadi 1 tahun. Dalam UU yang berlaku saat ini, ancaman hukum antara 1-4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara.

5. Melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap untuk aparat penegak hukum.

6. Ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor saksi kasus korupsi.

7. Korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum.

8. Kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas.

9. Tidak ditemukan dalam RUU Tipikor seperti dalam Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang pidana tambahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

     PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    Nasional
    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com