Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gagalnya Penegakan Hukum dan HAM

Kompas.com - 30/09/2011, 02:16 WIB

Herlambang Perdana

Ketiadaan komitmen politik yang kuat dari pemerintah melakukan perubahan ”menjadi lebih maju” merupakan alasan kegagalan pemerintahan SBY menegakkan pemerintahan berdasarkan hukum dan HAM.

Inilah kesimpulan dalam konferensi HAM yang diselenggarakan Serikat Pengajar dan Peneliti HAM (Sepaham) seluruh Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, 20-21 September 2011. Peserta datang dari sejumlah kampus, dari Aceh hingga Papua. Mereka menyajikan hasil riset dan pemikiran secara paralel; mengungkapkan keprihatinan betapa hukum dan HAM hanya permainan politik, bukan mandat untuk menjalankan amanat konstitusi.

Konferensi seperti peradilan rakyat tatkala hampir semua pengajar dan peneliti dalam presentasi melancarkan kritik ta- jam atas berbagai kebijakan, peraturan, penegakan hukum, dan ”vonis” yang meragukan komitmen politik pemerintah hari ini.

Nihil komitmen

Penegakan pemerintahan berdasarkan hukum bukan sekadar penegakan hukum, melainkan upaya negara membangun sistem hukum yang bekerja secara berkeadilan, tanpa diskriminasi, dan menjangkau seluruh struktur politik ketatanegaraan untuk menjamin hak dasar warga negara.

Ada sejumlah palang pintu dalam penegakan pemerintahan berdasarkan hukum dan HAM. Pertama, hukum dan penegakannya telah terlalu jauh memasuki pusaran kekuasaan politik ekonomi. Tak susah menyaksikan lunaknya penyelesaian hukum sejumlah kasus suap dan korupsi yang melibatkan pejabat, petinggi politik, dan pemilik modal. Berlikunya penyelesaian kasus Century dan kasus Lapindo adalah contoh soal.

Kedua, pemerintah tidak saja melakukan pembiaran, tetapi terlibat dalam konflik dan kekerasan. Ini yang membuat hak-hak dasar warga negara, tegasnya hak atas rasa aman, terancam. Kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah disertai perusakan tempat ibadah, rumah, dan sekolah membuktikan betapa kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak yang sama sekali tak boleh dikurangi begitu gampang dilanggar.

Ketiga, pelanggengan impunitas. Pelaku kejahatan HAM sistematik dan terencana justru dibebaskan. Proses hukumnya dibiarkan mengambang. Pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief soal tuntasnya kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, (Kompas, 7/9) mengindikasikan fakta betapa kuat kebijakan impunitas.

Keempat, melemahnya fungsi-fungsi protektif kelembagaan negara: tersumbatnya aspirasi politik warga negara melalui parlemen, masih dominannya praktik mafia peradilan, dan ketidakberpihakan pemerintahan atas hajat hidup orang banyak.

Sayangnya, Komnas HAM sebagai lembaga independen yang diharapkan progresif dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM justru terjebak dalam situasi ini sehingga perannya pun terlihat kurang lugas dan berani membongkar akar kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi.

Kelima, terpasungnya kebebasan pers. Pers telah secara dominan dikendalikan pemilik media yang berkepentingan atas kuasa politik, baik di level nasional maupun lokal. Pekerja pers juga kerap mendapatkan ancaman, bahkan aksi kekerasan tanpa ada pertanggungjawaban dari pelaku. Indikasi ini dikuatkan oleh laporan Reporters Sans Frontieres yang menempatkan Indonesia di posisi terburuk sejak 2002, yakni di peringkat ke-117 pada 2010.

Kelima palang pintu, dalam kerangka analisis rule of law (Bedner, 2010), merupakan pengingkaran elemen-elemen substantif yang jelas sangat berbahaya bagi masa depan hukum dan HAM. Boleh dikata, secara ketatanegaraan telah rapuh untuk bangunan sistem politiknya, disertai begitu rendahnya kadar konstitusionalisme Indonesia di tangan pemerintah. Ironisnya, SBY terkesan sangat tak berdaya melawan permasalahan hukum dan HAM yang mendera ini.

Peran kampus

Yang mengejutkan, kenyataan palang pintu penegakan rule of law dan HAM yang demikian itu diperpuruk keinginan sejumlah kampus, terutama fakultas hukum, yang menghapus mata kuliah HAM dari daftar kurikulum.

Belum jelas apa alasannya, tetapi keinginan ini terendus dari sejumlah dokumen penyusunan kurikulum nasional, yang semata lebih mementingkan mata kuliah yang ramah terhadap kepentingan pasar. Ini menunjukkan, lemahnya komitmen juga ditunjukkan oleh perguruan tinggi, yang kian memperlihatkan gejala komersialisasi dan pragmatisme.

Bahayanya, kampus sekadar mampu mencetak ’tukang-tukang’ yang mahir menerapkan pasal atau pasalistik, sementara ajaran rule of law dan HAM manusia kian menjauh dari upaya pembelaan akademisi kampus atas situasi sosial politik kebangsaan. Apalagi, legitimasi kampus dan akademisi kerap dituding justru masuk dalam arus besar legalisasi kebijakan yang melanggar HAM. Disadari atau tidak, tak sedikit kampus atau individu akademisi yang melacurkan pengetahuan dan keilmuan untuk mengeruk keuntungan di tengah karut-marut penegakan hukum.

Sangat jelas, persoalan penegakan hukum dan HAM masih merupakan agenda besar dan panjang bagi bangsa Indonesia. Kita perlu terus-menerus mengingatkan penyelenggara negara agar menunjukkan komitmen untuk memindahkan ”rel” politik hukumnya kembali ke jalur yang lebih menegaskan gagasan konstitusionalisme Indonesia yang lebih menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.

R Herlambang Perdana Pengajar Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Unair dan Anggota Sepaham

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com