Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koruptor Kontemporer

Kompas.com - 26/09/2011, 01:58 WIB

Acep Iwan Saidi

Korupsi, suap, dan berbagai jenis kejahatan kerah putih lain di negeri ini kiranya akan terus terjadi.

Beberapa pihak mensinyalir bahwa megakasus seperti Bank Century, mafia pajak, dan Nazaruddin tidak akan selesai pada periode pemerintahan sekarang karena menyangkut banyak kepentingan di lingkar kekuasaan. Sementara itu, kecenderungan partai politik yang notabene sebagai saka guru terbentuknya pemerintahan kian hari juga kian memburuk.

Kita bersaksi bahwa di satu sisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan LSM-LSM pemantau kejahatan korupsi terus bekerja, tetapi di sisi lain para pelakunya justru makin bertambah dan kian canggih.

Beberapa pelaku yang tertangkap KPK merupakan pelaku yang tindak-tanduknya telah lama dipantau. Ini berarti bahwa koruptor tidak bisa dijerat dalam tempo singkat. Di sisi lain, tentu saja KPK juga memiliki kemampuan terbatas.

Karena situasinya demikian, alih-alih kejahatannya berkurang, yang terjadi justru kian lemahnya para penegak hukum di hadapan para maling tersebut. Belakangan malah para penjahatlah yang mampu mengendalikan situasi.

Cara bungkam M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, dan ungkapan ”tidak tahu” dalam berbagai varian (tidak kenal, tidak ingat, dan sebagainya) dari para pelaku lain atau pihak yang terkait dengan kejahatan tersebut, misalnya, tampak membuat para penegak hukum kewalahan.

Wacana kejahatan

Dalam kajian wacana, penjahat kini menjadi pelibat utama dalam medan pertempuran berbagai kepentingan. Wacana itu sendiri, sebagaimana dikatakan Michel Foucault, merupakan serangkaian gubahan teks yang di dalamnya berbagai posisi (kuasa) diperebutkan. Barang siapa menguasai wacana, ia yang akan menjadi penguasa.

Wacana berlangsung dalam ruang yang disebut medan wacana. Salah satu medan wacana yang penting adalah media massa. Akan tetapi, kini media—terutama televisi—tak hanya sebagai medan sedemikian, tetapi juga menjadi salah satu partisipan penting di dalamnya.

Televisi tidak lagi menjadi ”sarana yang memediasi informasi”. Ia tidak hadir di antara peristiwa dan publik penunggu informasi, tetapi ada dalam peristiwa wacana sebagai medan sekaligus pelibat.

Itu sebabnya kita bisa saksikan betapa televisi menyibukkan diri dengan acara bincang-bincang dengan berbagai diskusi yang dikemas sedemikian rupa: mulai dari yang ”bodoris” sampai yang ”seolah-olah kritis”. Para penonton diajak terlibat secara langsung dalam perbincangan yang ”seolah-olah” faktual.

Posisi itu terutama diambil oleh televisi yang berpihak kepada industri. Dalam posisi ini, televisi tidak perlu melakukan investigasi yang berdarah-darah demi menghadirkan informasi faktual. Alih-alih mengejar hingga ke hulu sumber, televisi justru menjadi muara bagi arus informasi demikian.

Jurnalis kini tidak lagi menjadi pemburu berita, tetapi malah ”diburu”. Pada puncaknya, televisi menjadikan dirinya sebagai ”pengintip” peristiwa sebelum kemudian ”masuk ke dalam peristiwa itu” dan bersama-sama menghadirkan diri sebagai obyek yang menarik ditonton.

Berbarengan dengan perebutan posisi itu oleh televisi, penjahat pun merangsek ke pusat wacana dan tampak dominan. Namun, saya pikir, untuk mendapatkan posisi ini penjahat tidak sendirian. Penjahat kelas kakap macam Nazaruddin atau mereka yang selevel menteri pastilah memiliki ”perangkat lengkap” yang menjadi zirah sekaligus tombak untuk menyerang.

Beranalogi pada perkembangan kebudayaan, para penjahat yang masuk ke pusat perbincangan sedemikian rupa adalah penjahat kontemporer yang memiliki pengetahuan memadai untuk dapat membaca berbagai kecenderungan zaman. Kejahatan yang canggih adalah kejahatan yang mampu menjadi ”penunggang gelap” tren kebudayaan sehingga ia mampu berkamuflase.

Kecenderungan kebudayaan kontemporer adalah pergerakan terus-menerus ke arah leburnya batas-batas, runtuhnya definisi, dan totalitas permainan tanda nyaris dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam situasi ”segala bisa menjadi segala” inilah penjahat memiliki ruang terbuka untuk ”mencuci dirinya dalam bahasa” sehingga ia, misalnya, tercitrakan sebagai kambing hitam, korban, pion dalam permainan politik, dan seterusnya.

Penjahat kontemporer

Perilaku bungkam dan ungkapan tidak tahu adalah dua contoh model kontemporer yang digunakan. Cara ini diketahui telah muncul sejak lama.

Pada masa perang kemerdekaan, bungkam dan berkata tidak tahu dipilih para pejuang ketika mereka tertangkap musuh. Cara ini juga dipilih para kriminal tertentu pada masa lalu. Baik pejuang kemerdekaan maupun kriminal memilih cara ini dengan gagah berani karena konsekuensi memilihnya adalah menerima penyiksaan luar biasa.

Namun, sebagaimana salah satu ciri kebudayaan kontemporer yang sering meminjam masa lalu untuk diaktualisasi dan diberi nilai baru, penjahat kontemporer mencuri dan meletakkan cara itu dalam wacana kejahatan hari ini. Kita tahu bahwa kini hukum dan hukuman tidak boleh menyentuh tubuh. Di sinilah lantas metode bungkam dan mengatakan tidak tahu menjadi peluang bagi penjahat untuk, setidaknya, mengulur waktu.

Jika pejuang dan kriminal masa lalu sadar bahwa mereka akan disiksa, penjahat hari ini berkesadaran sebaliknya: bahwa dengan bungkam dan berpura-pura tidak tahu justru akan membuat penyidik tersudutkan. Tujuannya adalah: saat cara ini dilempar ke dalam wacana, ia segera menjadi ”topik utama” yang akan menarik untuk diolah.

Mengantisipasi hal tersebut, para penegak hukum, terutama KPK, jelas harus terus-menerus melakukan studi dan menemukan cara-cara baru yang kreatif untuk menjerat para penjahat kontemporer tersebut. Jika tidak, Anda akan selalu telat datang ke tempat kejadian perkara alias TKP!

Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan Seni Rupa ITB; Dosen Desain dan Media Sekolah Pascasarjana ITB

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com