JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikatakan telah mengetahui putusan Pengadilan Sipil Den Haag di Belanda, Rabu (14/9/2011), yang memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi kepada sembilan korban peristiwa Rawagede, yaitu pembantaian tentara Belanda semasa perang kemerdekaan RI pada 1947.
Pemerintah Indonesia akan memelajari putusan pengadilan tersebut. "Putusan ini suatu hal yang mudah-mudahan memuaskan rasa keadilan korban," kata Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah kepada para wartawan di kompleks Istana Presiden, Jakarta, Kamis (15/9/2011).
Faiza, yang juga mantan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan, Kemlu RI akan menyampaikan sikap resmi pemerintah Indonesia terkait putusan tersebut. Ketika ditanya apakah putusan tersebut dapat menjadi bahan yurisprudensi untuk kasus sebelumnya, termasuk kasus Westerling di Sulawesi, Faiza mengatakan, hal tersebut bisa aja terjadi.
"Kemungkinan selalu bisa. Tapi sejauh mana, harus dipelajari dulu keputusannya. Saat ini kita baru mempelajarinya sepotong-sepotong," kata Faiza.
Pembantaian di Rawagede menginspirasi sajak Chairil Anwar, "Karawang-Bekasi". Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki Desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai kapten Kustario.
Perkiraan jumlah korban tewas dalam pembantaian tersebut bervariasi, mulai dari 150 orang hingga lebih dari 430 orang. Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejerkan dan ditembak mati.
Pada 1947 Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan. Pada 2009 keluarga korban menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka.
Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini. Sayangnya ia wafat 8 Mei 2011 dalam usia 88 tahun. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.
Ini pertama kalinya pengadilan memutuskan Pemerintah Belanda bersalah dalam peristiwa yang terjadi di sebuah wilayah di Jawa Barat, 64 tahun silam itu. "Keadilan telah ditegakkan. Ini artinya negara tak lagi bisa diam membisu selama 60 tahun, menunggu kasus ini hilang dengan sendirinya, atau menunggu para penuntut meninggal dunia," tutur pengacara para penuntut Liesbeth Zegveld.
Meski PBB telah mengecam peristiwa itu sebagai "serangan yang disengaja dan kejam", Pemerintah Belanda tak pernah menghukum satu prajurit pun yang terlibat dalam pembantaian itu. Laporan resmi Pemerintah Belanda tahun 1968 mengakui terjadinya "kekerasan yang berlebihan", tetapi berdalih bahwa tindakan itu dilakukan tentara Belanda untuk memadamkan perang gerilya dan serangan teror.
Belanda baru mengakui terjadinya pembantaian setelah sebuah film dokumenter tentang kejadian itu ditayangkan tahun 1995. Sepuluh tahun kemudian, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menyatakan menyesal atas sejumlah serangan oleh pasukan Belanda di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 1947.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.