Jutaan orang tinggal dalam jangkauan letusan gunung berapi, bahkan sebagian tinggal di dalam kaldera tanpa menyadarinya. Kota-kota tumbuh di jalur patahan, dibangun dari batu bata rapuh dan abai prinsip aman gempa. Tsunami yang mengancam hanya dibentengi tanggul cacat, bukit yang dikeruk, bakau yang menyusut, alat deteksi dini yang dicuri, dan masyarakat yang lupa.
Survei yang dilakukan Litbang
Survei dilakukan di kota yang pernah dan terancam gempa bumi, tsunami, serta letusan gunung, seperti Banda Aceh (Aceh), Yogyakarta (DI Yogyakarta), Sleman (DI Yogyakarta), Padang (Sumatera Barat), Palu (Sulawesi Tengah), Karangasem (Bali), dan Bengkulu (lihat halaman 24).
Padahal, gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004 menewaskan lebih dari 160.000 jiwa. Padahal, Yogyakarta diimpit petaka gempa dan letusan gunung berapi. Padahal, belum genap 50 tahun Karangasem dilanda letusan Gunung Agung yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa. Padahal, nyaris setiap tahun, Bengkulu, Padang, dan Palu digoyang gempa bumi.
Nyaris tak sejengkal pun tanah di Nusantara yang luput dari ancaman gempa, selain Kalimantan, seperti yang tertera dalam peta sejarah kegempaan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Gempa, tsunami, dan juga letusan gunung berapi telah menjadi bagian dari sejarah Nusantara dan terekam dalam mitologi serta dongeng kuno.
Sejarawan Bernard HM Vlekke dalam buku
”Gempa bumi paling keras saya alami terjadi di Manna (Bengkulu), tahun 1770. Sebuah kampung musnah, rumah-rumah runtuh dan habis dimakan api. Beberapa orang tewas,” demikian tulis Marsden.
Sebelumnya, ahli ilmu alam dari Jerman, GE Rumphius, mencatat dalam bukunya,
Tersusun dari ribuan pulau, Indonesia dilingkari jalur gempa paling aktif di dunia, Cincin Api Pasifik (
Cincin Api Pasifik merupakan jalur gunung berapi dan garis tumbukan lempeng yang membentang 40.000 kilometer mulai dari pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke Amerika Utara, melingkar ke Kanada, Semenanjung Kamtschatka, Jepang, membuat simpul di Indonesia, lalu ke Selandia Baru, dan kepulauan di Pasifik Selatan. Sebanyak 90 persen gempa di Bumi, dan 80 persen di antaranya gempa terkuat, terjadi di jalur ini.
Adapun Sabuk Alpide, yaitu pegunungan dari Timor ke Nusa Tenggara, Jawa, Sumatera, lalu terus ke Himalaya, Mediterania, hingga Atlantik, menjadi tempat bagi 17 persen gempa di Bumi ini.
Diimpit dua jalur geofisika yang ekstrem, Indonesia adalah rumah bagi sejumlah bencana alam terkuat yang pernah terjadi di Bumi. Gempa dan tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004, merupakan salah satunya.
Gunung berapi yang memiliki letusan terdahsyat di Bumi juga ada di negeri ini. Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang meletus pada April 1815 telah mengguncang dunia. Aerosol asam sulfat yang dilontarkan ke atmosfer menciptakan tahun tanpa musim panas di Eropa, mengakibatkan bencana kelaparan, memicu wabah penyakit, dan kematian berskala global.
Letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada Agustus 1883 membangunkan dunia. Letusannya menciptakan tsunami hebat, dan Anak Krakatau yang tumbuh cepat dari dasar laut menjadi laboratorium alam paling lengkap yang mengajarkan suksesi ekologi bagi ilmuwan seluruh
Jauh sebelumnya, sekitar 74.000 tahun lalu, dunia mengenal letusan Gunung Toba di Sumatera Utara. Letusan gunung berapi raksasa (
Nyatanya, di atas Bumi yang paling bergolak ini, masyarakat tumbuh dan berkembang selama ribuan tahun. Indonesia menjadi negara yang penduduknya terbanyak tinggal dalam jangkauan gunung berapi.
Sebanyak 127 gunung berapi aktif terjalin melingkari Nusantara. Dari jumlah itu, 30 di antaranya ada di Pulau Jawa. Itu artinya sekitar 120 juta orang kini hidup dalam bayang-bayang letusan gunung berapi. Kedekatan warga dan lokasi gunung berapi telah terbukti fatal karena lebih dari 150.000 jiwa tewas akibat letusan gunung berapi di seluruh Nusantara dalam kurun waktu 500 tahun terakhir.
Akan tetapi, gunung berapi bukan hanya berarti bencana dan kengerian semata. Gunung Merapi memberikan pelajaran. Sebanyak 32 warga Kinahrejo (Sleman), termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, yang menolak diungsikan ditemukan tewas setelah erupsi pada Selasa, 26 Oktober 2010.
Bagi Mbah Maridjan dan puluhan warga Kinahrejo yang percaya kepadanya, Merapi adalah rumah yang harus diterima, dalam kondisi baik ataupun buruk. ”Kalau turun, nanti
Merapi bukan sekadar gunung berapi yang berbahaya karena tingkat keaktifannya. Memahami Merapi tidak cukup dengan menelisik wujud fisiknya, menghitung tremor yang diakibatkan, mewaspadai
Seperti Merapi, gunung berapi di Nusantara terletak di pusat kepercayaan mistis dan spiritual, menjerat jutaan orang dan memengaruhi kebudayaan mereka.
Apalagi, di balik kehancuran yang diakibatkannya, gunung berapi menyimpan berkah yang menghidupi. Debu akibat letusannya menyuburkan tanah, seperti hingga membuat Multatuli (1960) yang terpesona memopulerkan istilah ”...untaian zamrud yang berjajar sepanjang khatulistiwa”. Petani di Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara bisa memanen padi hingga tiga kali setiap tahun, berkah yang tak bisa dilakukan di belahan Bumi lain.
Kini, masyarakat modern menemukan berkah lain dari gunung berapi, yaitu sumber energi tenaga panas bumi. Indonesia menjadi rumah bagi sebagian besar energi bersih ini di Bumi, yaitu sekitar 27,6 GWe dan yang dimanfaatkan baru 4 persen. Selain juga, kekayaan jenis dan sebaran mineral yang terendapkan dari proses geologi ekstrem ini.
Bagaimanapun kita telah menjadi bagian dari alam. Dengan demikian, hidup berdampingan dan selaras alam adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Bencana ataupun nikmat dari alam adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama sehingga harus disikapi berbarengan.
Nenek moyang kita telah membangun strategi adaptasi terhadap alam, khususnya terkait dengan gempa. Semua rumah tradisional Indonesia dari Aceh hingga Papua dibangun aman gempa. Misalnya, rumah tradisional Nias yang dibangun dari tiang (
Di antara tiang utama terdapat kolom diagonal yang saling kait menyokong lantai rumah. Semua sambungan kayu menggunakan teknik pasak, mencipta balok kayu dinamis dan tidak patah ketika terjadi gempa. Sebagai bukti, digoyang beberapa kali gempa besar selama ratusan tahun, rumah adat Nias di Bawomatoluo, Hilisimaetano, Sihare’o Siwahili, dan Gomo masih tegak berdiri.
Prinsip arsitektur yang sama ditemukan di Batak, Karo, Toraja, Aceh, Minangkabau, Kampung Naga (Jawa Barat), dan joglo di Yogyakarta. Namun, strategi adaptasi nenek moyang selama ribuan tahun kini semakin ditinggalkan, tanpa upaya memperbaruinya dengan pengetahuan baru yang berpijak pada siasat bijak berdamping bencana.
Di Pulau Simeulue, Aceh, masyarakat tradisional mengembangkan budaya
Smong merupakan kata-kata ajaib yang menyelamatkan warga Simeulue saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004. Waktu itu, ”hanya” tujuh orang di Simeulue yang meninggal akibat tsunami dibandingkan dengan ribuan rumah yang tersapu gelombang ini. Warga di sana telah meninggalkan rumah sebelum tsunami tiba.
Smong, yang dalam bahasa lokal berarti ombak besar ke pantai, seperti kata-kata yang ajaib. Begitu mendengar kata smong, warga Simeulue akan berlari ke luar menuju satu titik: perbukitan. Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan kolektif mereka terhadap bencana tsunami yang melanda pulau ini pada 1907, bahkan mungkin lebih lama lagi.
Di Pulau Mentawai, masyarakat setempat mengembangkan pola hidup menjauh dari laut yang kerap mengirim tsunami. Walaupun mereka tinggal di kepulauan, pusat orientasi budaya mereka adalah hutan di pedalaman pulau. Selama ribuan tahun, mereka seperti sengaja menjauh dari laut dan baru pindah ke daratan setelah para migran dan Orde Baru membangun kota baru di pesisir sejak tahun 1970-an.
Tata ruang dan pembangunan baru yang berorientasi pada pertumbuhan dan alasan politik praktis telah mengabaikan kearifan lama ataupun strategi teranyar untuk menghadapi bencana gempa, gunung berapi, dan tsunami.
Ekspedisi Cincin Api