Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW)—bagian dari Komite Pengawas KPK—Neta S Pane mengatakan hal itu di Jakarta, Senin (5/9). ”Dalam menangani kasus Nazaruddin, IPW menilai KPK sangat lambat. Sampai kapan KPK tidak proaktif dalam menghadapi Nazaruddin yang bungkam?” kata Neta.
Menurut Neta, ada dua teknik yang bisa dilakukan penyidik untuk menghadapi sikap bungkam Nazaruddin. Pertama, teknik konfrontasi langsung (direct confrontation). Artinya, Nazaruddin dihadapkan dengan nama-nama yang disebutkan atau yang diduga terlibat atau bertanggung jawab dalam kasus tersebut.
Dalam teknik ini, dapat dilakukan pemeriksaan silang (cross examination). ”Misalnya, pemeriksaan silang dengan Anas Urbaningrum atau Angelina Sondakh,” kata Neta.
Jika Anas atau Angelina menyangkal dan Nazaruddin tetap bungkam, menurut Neta, tentu hal ini akan memberatkan Nazaruddin yang harus bertanggung jawab sendiri.
Teknik kedua, penyidik kepolisian di KPK bisa melakukan teknik aplikasi psikologi kognitif, seperti defleksi, yaitu penciptaan situasi sehingga tersangka merasa terpojok atau interogasi lebih dari 20 jam. Dengan kondisi terpojok, diharapkan tersangka dapat mulai mengungkap apa yang diketahuinya.
”Cara-cara itu juga sering dilakukan untuk menggali pengakuan dari tersangka kasus terorisme,” kata Neta.
Hal senada dikatakan Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurut dia, KPK seharusnya memiliki metode-metode yang lebih canggih sehingga bisa menggunakan data yang telah ada, termasuk daftar nama yang disebutkan Nazaruddin. ”Kalau sampai tidak ada tersangka lain dalam waktu dekat, berarti benar kata Nazaruddin, KPK sudah diskenario,” katanya.
Masalahnya, menurut Neta, apakah penyidik KPK diperintahkan untuk benar-benar mengungkap kasus atau justru diarahkan untuk melokalisasi pengungkapan kasus. Jika kasus dilokalisasi, penyidikan kasus tidak dapat meluas kepada tersangka lain yang sesungguhnya bukan mustahil memiliki dugaan keterlibatan yang lebih besar.
Neta mengatakan, kelambanan KPK dalam menangani kasus Nazarudin, juga kasus Nunun Nurbaeti dan sejumlah kasus, mengoyak rasa keadilan rakyat.
Koordinator investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, di Bogor, mengatakan, pimpinan KPK harus memeriksa penyidik kasus- kasus macet, seperti kasus Nunun. ”Kasus Nunun itu janggal. Sejak 2008 kasus berjalan, yang ditangkap penerima suap. Pemberi suap disebut namanya bahkan dalam persidangan, tetapi tidak pernah disentuh,” katanya.
Menurut Tama, perlu diwaspadai keberadaan unsur jaksa dan polisi di KPK. Apakah mereka malah menghambat penyidikan karena ada intervensi, mengingat lembaga tempat mereka berasal juga bermasalah.(fer/Ong/edn)