Bengkulu, Kompas -
Konflik tapal batas itu berlarut-larut karena melibatkan kepentingan perkebunan sawit swasta. ”Yang berkonflik itu masyarakat Desa Tanjung Mulya dengan perkebunan sawit PT Rimba Usaha Kencana,” kata anggota Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Barlian, Senin (8/8), di Bengkulu.
Dalam situasi tersebut, Kabupaten Pesisir Selatan yang telah memberi hak guna usaha merasa berkepentingan dengan perkebunan itu. Begitu juga dengan Kabupaten Mukomuko. ”Coba lihat di lokasi kan cuma ada hutan dan kebun, tidak ada permukiman. Jadi, ini tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi dua bupati saja,” ujar Barlian.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bengkulu, Junaidi Albad Setiawan, menyampaikan, konflik tapal batas akan berdampak pada penghitungan dana alokasi umum (DAU) dan DAK untuk daerah bersangkutan. Selain itu, masyarakat juga dibuat bingung karena ketidakpastian administrasi wilayah ini.
Tidak seperti konflik tapal batas dengan Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung yang telah selesai, konflik tapal batas dengan Sumatera Barat terus berlarut-larut. ”Persoalan batas dengan Sumatera Selatan dan Jambi sudah selesai. Sekarang sedang memasang patok batas yang sudah disepakati,” ujar Junaidi.
Saat ini, DPRD Provinsi Bengkulu menunggu pertemuan dengan Pemprov Sumbar yang difasilitasi Kemendagri. “Kami akan meminta DPR pusat untuk mendorong Kemdagri agar cepat memfasilitasi pertemuan dengan Sumatera Barat. Sebab, kami melihat ada indikasi Kemdagri lamban menyelesaikan konflik ini,” tutur Junaidi.
Menurut anggota Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, Herry Alfian, konflik dipicu Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 135 Tahun 1995 yang menetapkan batas wilayah yang merugikan Mukomuko. Wilayah itu berkurang sekitar 40 kilometer. SK Mendagri itu jadi pegangan warga Pesisir Selatan. Padahal, sebelumnya ada kesepakatan Gubernur Bengkulu dan Gubernur Sumbar tahun 1986 yang mengacu pada Staatsblad Belanda 214 tahun 1910.