Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serasa Jadi Wartawan (Beneran)...

Kompas.com - 15/07/2011, 05:07 WIB

Setelah dua hari pertama magang diisi berbagai teori tentang seluk-beluk dunia jurnalistik, terjun ke lapangan ibarat wartawan beneran adalah saat yang paling ditunggu magangers.

Pada hari ketiga magang, Rabu (6/7), magangers yang terdiri dari reporter dan fotografer berkesempatan menempel (embedded) dengan wartawan dan fotografer Kompas untuk meliput suatu peristiwa. Wow..., seruuu....

Sudah tak sabar, jadilah saat diumumkan dengan siapa mereka akan meliput, ketegangan dan rasa penasaran bercampur sukacita tergambar jelas di wajah magangers.

Berbagai pertanyaan pun muncul. Bagaimana cara menemukan wartawan atau fotografer yang akan ditempel? Harus pergi bareng atau bertemu langsung di lokasi? Bolehkah ikut bertanya dengan narasumber yang ditemui?

Sebelum berangkat, magangers menunggu di ruang Pendidikan dan Latihan Kompas. Di antara mereka ada yang mondar-mandir, ada juga yang sibuk bertanya rute kendaraan umum yang bisa membawanya ke lokasi liputan.

Waktu embedded setiap magangers enggak sama. Mereka menyesuaikan dengan liputan wartawan yang mereka tempel.

Ada yang meliput setelah makan siang, ada yang sudah ke lapangan sejak pagi, tetapi ada pula yang baru meliput sore hari.

Karena semua harus kembali ke Kompas pukul 17.00, jadilah mereka harus mengatur waktu agar bisa tepat waktu sampai ke lokasi dan kembali ke Kantor Kompas. Persoalan atur-mengatur waktu seperti ini memang jadi bagian dari pekerjaan wartawan.

Pelajaran di lapangan

”Kamu ke mana? Oh, itu kan arah ke Blok M. Ya udah kita barengan aja berangkat,” kata Irma Febriena kepada Adintya Malau yang mau mengikuti Fajar Marta, wartawan Desk Politik dan Hukum yang diminta ke Gedung Kejaksaan Agung di kawasan Blok M.

Irma yang semula harus menempel dengan wartawan Desk Metropolitan mendapat ”rezeki” meliput peragaan busana di Hotel Dharmawangsa bersama Yulia Sapthiani, wartawan Desk Nonberita. Galih Nur Cahyo yang harus menemui Windoro Adi, wartawan Desk Metropolitan di Polsek Duren Sawit, sibuk mencari informasi rute angkutan umum ke arah Duren Sawit.

Farchan Fachrurezzy yang menempel fotografer Hendra Setyawan berburu foto bendera partai politik yang ditancapkan di sisi jembatan layang sekitar TVRI Senayan hingga Bendungan Hilir.

”Tadi aku diajak ambil foto bendera parpol di atas jembatan layang. Kakaknya ambil foto dekat sekali dengan bendera, hasilnya unik. Aku ikut-ikutan, bagus ya hasilnya,” katanya.

Fairuz Nabila Afia yang semula akan menghadiri jumpa pers penyelenggaraan Miss Teen kecewa. ”Ya, kenapa enggak jadi, Kak?” tanya Afi. Liputan Afi diganti wawancara dengan psikolog tentang perilaku remaja yang suka merajuk.

Baru setelah sampai Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, dan bertemu psikolog Dinastuti, Afi menikmati wawancara itu. Kepalanya manggut-manggut saat mendengarkan penjelasan Dinastuti. ”Jadi, tahu ada ngambek taraf normal atau berlebihan,” komentarnya.

Virginia yang menempel dengan fotografer Kompas Lucky Pransiska dan meliput ke Kantor KPK merasakan asyiknya jadi wartawan.

”Seru banget, serasa jadi wartawan. Kita desek-desekan, kayak yang di TV-TV itu. Keren, deh. Aku sampai mau terlempar,” cerita Virginia. Ia beruntung bisa menikmati pengalaman kerja dalam keramaian dan tekanan tinggi.

Abraham Adhinugroho yang menempel fotografer Wisnu Widiantoro dari Desk Metropolitan meliput kebakaran di kawasan Roxy. ”Kebetulan ada kebakaran. Jadi, kami memotret di sana,” kata Bram, panggilannya.

Ia sempat bingung karena Wisnu terburu-buru sampai terpeleset. Untung Wisnu bisa menguasai diri, tak sampai terjatuh. ”Wah, kalau Mas Wisnu jatuh, gawat juga bawa kamera seperti itu. Sesudah itu, kami pindah ke tempat lain, memotret demonstrasi,” ujarnya.

Secara terpisah, Wisnu menceritakan pengalamannya bersama Bram. Karena belum biasa berkeliling di jalanan Ibu Kota, Bram cuek saat hendak berangkat. ”Aku bingung, ternyata dia enggak bawa jaket dan helm,” tutur Wisnu sambil tertawa.

Satu catatan untuk Bram, sebagai fotografer, dia harus bisa bergerak cepat. Saat memotret di lapangan, Wisnu melihat Bram hanya menggunakan lensa 70-200 mm dan enggan menggantinya.

”Aku sempat menyarankan kalau memotret kebakaran lebih baik ganti lensa lebar, tetapi dia malas ganti lensa,” ungkapnya.

Meutia Fauzia Maharani yang menempel fotografer Yuniadhi Agung meliput ke Tennis Indoor Senayan. Mereka meliput pertandingan tinju Piala Presiden.

”Aku dapat ini!” teriak Meutia kegirangan menunjukkan ID card press Piala Presiden. Yang lain hanya bisa menatap Meutia dengan iri.

Seru? Bikin Iri? Seperti itulah pengalaman magangers. Meski singkat, mereka diajak belajar bagaimana menghadapi kesulitan yang muncul saat meliput dan detail apa saja yang harus diperhatikan. Bukan soal seru atau tidaknya pengalaman terjun ke lapangan, tetapi pelajaran apa yang bisa diambil!

(TRI/BEE/DOE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com