Selain itu, Polri menilai Komisi Informasi Pusat (KIP) tidak memiliki kewenangan eksekutorial. Putusan KIP juga dinilai belum bersifat final karena mekanisme banding masih belum jelas dan berbenturan dengan undang-undang (UU) yang ada.
Hal itu dikatakan Kepala Biro Bantuan Hukum Polri Brigadir Jenderal (Pol) Iza Fadri di Jakarta, Jumat (8/7). ”Putusan KIP itu sejak awal kami tolak. Pembukaan rekening yang berasal dari PPATK bertentangan dengan UU Pencucian Uang,” kata Iza.
Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan, pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan itu, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut UU ini.
Iza menjelaskan, penyidik Badan Reserse Kriminal Polri yang memiliki data mengenai hasil analisis PPATK terkait 17 rekening itu tidak dapat menyampaikan kepada pejabat pengelola informasi dan dokumentasi Polri yang berada di bawah Divisi Humas Polri. Jika penyidik memberikan data itu bisa melanggar UU Pencucian Uang.
Selain itu, kata Iza, mekanisme banding terhadap putusan KIP juga belum jelas dan berbenturan dengan UU lain. Sesuai UU mengenai KIP, termohon (Polri) dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Akan tetapi, sesuai UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, kata Iza, yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah orang atau badan hukum perdata. Polri bukan merupakan badan hukum perdata, melainkan lembaga publik. ”Sebab itu, gugatan itu dicabut,” katanya.
Oleh karena itu, Iza menilai putusan KIP juga belum memiliki kekuatan hukum tetap karena tak ada proses banding yang dapat dijalankan. Putusan KIP juga berbahaya, jika dinilai berkekuatan hukum tetap, tanpa ada proses banding.
Secara terpisah, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, menyayangkan sikap Polri yang tidak mau membuka 17 rekening tak wajar milik perwiranya. Hal ini sebagai puncak dari fenomena negara kleptokrasi.
”Itu ciri khas negara kleptokrasi. Mereka tidak mau mengungkap borok sendiri. Itu sesuatu yang tak boleh dibuka. Ada pembelaan di sana sampai ICW (Indonesia Corruption Watch) membawa hal ini ke KIP,” ujarnya. Effendi juga menilai, Polri dengan sikapnya tak ingin memperbaiki diri.