Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Syarifuddin Merasa Berhak Punya Banyak Uang Asing

Kompas.com - 14/06/2011, 03:06 WIB

Jakarta, Kompas - Mantan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjadi tersangka kasus suap penjualan aset pailit PT Skycamping Indonesia, Syarifuddin Umar, merasa berhak punya banyak uang asing.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Syarifuddin, Senin (13/6). Syarifuddin diduga menerima suap sebesar Rp 250 juta dari kurator Puguh Wirawan, yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Selain uang Rp 250 juta, KPK menyita uang asing 116.128 dollar Amerika Serikat (AS), 245.000 dollar Singapura, 20.000 yen, dan 12.600 riel Kamboja.

Sebelumnya KPK menemukan banyak uang berbentuk mata uang asing di rumah Syarifuddin saat penggeledahan. Ditanya tentang asal-usul uang asing itu, Syarifuddin mengatakan, ”Saya punya hak untuk itu. Apa Anda pernah tahu bahwa saya pernah ke luar negeri. Tidak, kan?”

Syarifuddin akan menjelaskan asal-usul uang tersebut di pengadilan. ”Jangan memojokkan saya terus. Itu yang harus saya jelaskan. Ada hak saya membuktikan. Itu yang perlu sekarang, jangan memelintir bahasa bahwa ada permainan, hakimnya brengsek,” kata Syarifuddin.

Secara terpisah, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mengatakan, sebenarnya Mahkamah Agung (MA) bisa dengan mudah melacak seberapa wajar harta kekayaan yang dimiliki hakim. Febri mengatakan, ICW sudah meminta data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Syarifuddin ke KPK. ”Terakhir hakim Syarifuddin menyerahkan LHKPN ke KPK ternyata tahun 2002. Itu sudah lama sekali. Berdasarkan LHKPN tersebut, hartanya masih sedikit,” kata Febri.

Menurut Febri, kepatuhan menyerahkan LHKPN sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks melacak kewajaran harta pejabat. MA bisa membandingkan gaji dan penghasilan resmi seorang hakim dengan kekayaan yang dimiliki.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, M Zaidun mengatakan, MA hendaknya melibatkan Komisi Yudisial, kalangan perguruan tinggi, serta pakar hukum dalam melakukan anotasi hukum terhadap putusan hakim yang dianggap perlu dikaji lebih dalam. Hal ini akan memberikan dampak agar para hakim lebih berhati-hati dalam menentukan putusan.(BIL/ANO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com