Jakarta, Kompas -
Hal itu diungkapkan Kepala Bagian Penerangan Umum Kepolisian Negara RI (Polri) Komisaris Besar Boy Rafli Amar di Jakarta, Rabu (8/6). ”Memang perlu ada misi khusus yang terprogram untuk narapidana terorisme di lembaga pemasyarakatan. Jadi, narapidana tidak sekadar menjalankan hukuman, tetapi juga ada upaya yang komprehensif dan serius untuk mengubah pola pikir radikal,” kata Boy.
Sebagai contoh, adanya bimbingan psikologis dari para psikolog atau psikiater bagi para narapidana terorisme. Selain itu, adanya upaya-upaya penyadaran pemahaman mengenai agama yang benar dari para tokoh agama melalui kerja sama dengan Kementerian Agama.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, misalnya, perlu juga memikirkan penyediaan lapangan kerja bagi mantan narapidana yang sudah bebas. Kalau tidak memiliki pekerjaan yang layak, kemungkinan besar mereka kembali mencari komunitas mereka untuk melakukan aktivitas, seperti fai.
Upaya pemberantasan terorisme, menurut Boy, tidak cukup dibebankan atau dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror melalui operasi-operasi penindakan. Operasi penindakan perlu juga diimbangi dengan penghukuman yang dapat mengarahkan para narapidana teroris sadar terhadap perbuatan.
”Untuk itu, memang dibutuhkan sentuhan lain, baik dari segi psikologi, pemahaman agama yang benar, maupun segi kesejahteraan, yaitu penyaluran lapangan kerja,” kata Boy.
Direktur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dr Petrus Reinhard Golose mengungkapkan, aspek penghukuman memang cukup penting untuk memberi penyadaran bagi narapidana terorisme dan memberi efek jera.
Dalam berbagai kasus terorisme, Petrus melanjutkan, sering kali muncul pelaku-pelaku yang lama dan pernah dihukum. ”Jadi, sudah ada gejala residivisme,” tuturnya. Sebagai contoh, salah satu tersangka dalam kasus penembakan terhadap aparat kepolisian di Palu pernah merampok bank sebagai aksi fai.